Diversitas di Tempat Kerja

Diversitas dalam HR artinya keragaman tenaga kerja, baik dari segi ras, agama, kewarganegaraan, budaya, maupun suku, sehingga dalam suatu perusahaan ada SDM yang heterogen. Sekilas hampir sama dengan EEO dan Affirmative Action (AA), namun diversitas lebih mengacu pada usaha yang diprakarsai oleh perusahaan sendiri, untuk meyesuaikan dengan keadaan bisnis saat ini. Ada lima alasan mengapa diversitas menjadi aktivitas dominan dalam pengaturan SDM diorganisasi saat ini :


1. Pergeseran dari ekonomi produksi menjadi ekonomi pelayanan/jasa.
Dengan kemajuan teknologi saat ini, pekerjaan manufaktur akan semakin produktif sehingga SDM yang dibutuhkan berkurang. Namun yang terjadi pada perusahaan jasa adalah sebaliknya, SDM yang dibutuhkan smakin banyak seperti pada bidang-bidang perbankan, jasa keuangan, jasa kesehatan, pariwisata, dan penjualan. Apalagi dengan ekonomi berbasis digital/virtual saat ini, yang paling dibutuhkan adalah SDM-SDM yang handal dalam memberikan pelayanan dan informasi kepada konsumen.
Dengan diversitas, perusahaan bisa memiliki ragam SDM yang memiliki persamaan dengan customernya, sehingga customer akan merasa lebih cocok dan pada akhirnya meningkatkan loyalitas pada perusahaan.


2. Globalisasi pasar
Semakin banyak perusahaan yang melakukan globalisasi, yang tentunya harus disertai dengan pemahaman budaya, pola hidup, dan kebiasaan masyarakat setempat. Bahkan budaya organisasi perusahaan harus diasimilasikan dengan budaya di negara yang baru. Jika tidak, tentu akan tercipta gap yang besar antara perusahaan dengan customer. Disinilah diversitas sangat diperlukan. SDM dari negara yang dimasuki perusahaan akan sangat membantu dalam mengenali budaya customer setempat dan sekaligus "meyakinkan" mereka akan produk/jasa yang ditawarkan perusahaan.
3. Strategi bisnis baru yang memerlukan teamwork lebih.
Strategi baru akan memerlukan ide-ide, opini, dan perspektif baru dari beberapa orang. Orang-orang tersebut lalu dibentuk menjadi teamwork khusus untuk meningkatkan kualitas, fleksibilitas, mengurangi biaya operasi, dan berbagai alasan positif lainnya. Teamwork ini akan bekerja maksimal jika terdiri dari SDM-SDM dari latar belakang yang berbeda-beda karena akan menghasilkan ide-ide yang lebih kreatif dan mewakili.
4. Merger dan aliansi internasional strategic.
Dengan adanya merger dan aliansi, tantangan tersulit yang dihadapi perusahaan adalah perbedaan dalam budaya organisasi. Setiap perusahaan tentu mempunyai budaya yang berbeda-beda dalam memperlakukan karyawan, melaksanakan bisnis, memberi penghargaan, dls. Jelas sekali bahwa diversifikasi tak mungkin dihindari dalam situasi merger atau aliansi. Diversitas adalah sesuatu yang harus dipahami dan diterima, agar proses merger/aliansi dapat berjalan baik.



5. Pasar tenaga kerja yang berubah.
Semakin lama SDM akan semakin dipenuhi oleh wanita, suku-suku minoritas, dan orangtua. Lingkungan kerja akan semakin dipenuhi oleh diversifikasi. Karyawan harus didibiasakan untuk memahami dan menghargai perbedaan ras, etnis, bahasa, orientasi seksual, tingkat kemampuan, dls. Bahwa setiap perbedaan yang ada bukan berarti salah satu lebih baik, melainkan hanya manifestasi dari latar belakang masing-masing individu. Karena itu, kepercayaan dan kelapangan menerima perbedaan harus ada untuk menciptakan kerjasama yang baik.

Meskipun diversitas adalah sesuatu yang berguna bagi perusahaan, namun ternyata hasil penelitian menunjukkan bahwa perusahaan masih sulit menerapkannya. Salah satu masalahnya adalah wanita dan suku minoritas sering mendapat perlakuan tidak adil dalam pembagian pekerjaan ataupun mengalami pelecehan ras/suku dalam lingkungan kerjanya. Ini mengakibatkan tingkat turnover mereka 2,5 kali lebih besar daripada laki-laki dan suku minoritas, sehingga perusahaan perlu mngeluarkan uang yang lebih banyak utnuk biaya perekrutan SDM baru. Dalam kasus seperti ini, perusahaan seharusnya memberikan dukungan, peluang, dan melibatkan SDM minoritas. Pembudayaan penerimaan diversitas diseluruh lingkungan organisasi juga sangat berguna. Setiap SDM harus merasa nyaman dengan orang-orang yang berbeda dengan dirinya. Sebenarnya yang dibutuhkan hanyalah kemampuan beradaptasi dan kemampuan menerima.


Berikut ini adalah beberapa isu dari konsep budaya dan karakter 3 kelompok ras besar dilingkungan kerja :

1. African Americans
Ras ini membaur sekitar 12,4% dari keseluruhan angkatan kerja di Amerika. Beberapa fakta mengenai mereka di Amerika adalah :
- Memiliki 823.500 bisnis, mempekerjakan 718.000 orang, berpendapatan $71,2 milyar.
- Daya beli 86% 10 tahun lalu, dan diestimasi akan terus bertambah.
- Banyak yang bekerja di perusahaan 5 besar dan menjabat Chief Excecutive.
Selain itu, 65% dari daftar Fortune 1000 mempunyai setidaknya 1 ras minoritas dijajaran Dewan Direksi. Sedangkan pada daftar 100 perusahaan idaman, umumnya 48% SDMnya terdiri dari wanita dan 25% dari kaum minoritas.

2. Hispanics
Ras ini membaur sekitar 13% di Amerika, yang umunya tersebar di California, texas, New York, dan Florida. Didalam ras ini masih terdapat beragam latar belakang etnis, ras, tingkat ekonomi, dan tingkat pendidikan. Di 4 negara bagian Amerika diatas, Hispanics menguasai 73% perusahaan, dengan total 1,2 juta bisnis di Amerika, 1,3 juta pekerja, dan berpendapatan 186,3 juta. Dalam angkatan kerja di Amerika, jumlah ras ini juga berkembang pesat.

3. Asian Americans
Ras ini hanya ada sekitar 5,7% di Amerika. Ada paradoks yang beredar bahwa orang Asia adalah pekerja keras dan berbeda dari ras lainnya. Namun karakteristik yang positif ini justru menjauhkan mereka dari posisi tinggi diperusahaan karena dianggap lebih cocok menjadi pekerja daripada pemimpin. Hanya diperusahaan-perusahaan besar saja ras ini dapat ditemui di tingkat yang lebih tinggi.


Selain keragaman ras dilingkungan kerja, mulai mendominasinya wanita juga merupakan isu diversitas yang penting. Wanita sat ini telah diberi kebebasan yang lebih untuk mengurus keluarga sekaligus bekerja. Bahkan saat ini, sudah sangat banyak yang mampu menduduki posisi manajer ataupun diatasnya. Ada lima hal yang mempengaruhi hal tersebut, yaitu :

1. Perubahan dalam keluarga : waktu untuk mengurus anak telah berkurang akibat legalisasi aborsi, kontrasepsi, perceraian, dan penurunan tingkat kelahiran. 55% dari mereka yang memiliki bayi dibawah 3 tahun juga bekerja. Jumlah oangtua tunggal juga meningkat tajam, dan mereka biasanya lebih mudah memperoleh pekerjaan daripada yang tidak.

2. Perubahan pendidikan : setelah PD II, wanita telah mulai bersekolah sampai keperguruan tinggi. Saat ini, 57% gelar kelulusa, 58% gelar master, dan 41% gelar doktorat dimiliki oleh wanita.

3. Perubahan dalam persepsi diri : banyaknya konflik pribadi yang timbul ketika wanita mencampuradukkan antara pekerjaan dan keluarga mengakibatkan banyak dari mereka yang terlambat atau tidak menikah sama sekali. Banyak pula dari yang telah menikahberakhir denagn perceraian.

4. Perubahan teknologi : perkembangan teknologi banyak memudahkan pekerjaan wanita baik dirumah maupun dikantor. Waktu dan usaha yang diperlukan pun berkurang, sehingga diharapkan wanita dapat lebih menyeimbangkan antara kehidupan keluarga dan karirnya.

5. Perubahan ekonomi : meskipun kebutuhan SDM pada industri manufaktur telah bergeser ke industri jasa, jumlah wanita yang bekerja bertambahsdisemua jenis industri.


Meskipun demikian, hasil penelitian tetap menunjukkan bahwa wanita belum dapat menyamakan gajinya dengan laki-laki sampai tahun 2017. Pada level pendidikan yang sama pun, gaji wanita masih lebih rendah. Mereka juga tetap masih memiliki tanggung jawab terhadap keluarga dan pekerjaan rumah tangga. Untuk itu, ada beberapa fasilitas yang dapat diberikan oleh perusahaan untuk mempermudah pekerjaan wanita, misalnya : jalur karir alternative, jadwal dan waktu yang fleksibel, pembagian kerja, dls.

Isu diversitas yang lainnya adalah yang berdasarkan pada usia. Saat ini ada lima generasi angkatan kerja di Amerika yang mana memiliki nilai dan attitude yang berbeda dan sering menimbulkan konflik. Berikut ini adalah sedikit penjelasannya :

1. Swing generation : yang lahir antara 1910-1929, yang saat ini kebanyakan telah pensiun.

2. Silent generation : lahir antara 1930-1945, yang jumlahnya lebih sedikit karena lahie\r diantara masa-masa Great Depression. Karena jumlahnya yang sedikit, banyak yang sekolah diuniversitas bermutu, bekerja, dan dibayar lebih tinggi. Sebagai gantinya, mereka juga adalah pekerja-pekerja yang berdedikasi penuh. Banyak pula dari mereka yang menjadi pemimpin.

3. Baby-boom generation : lahir antara 1946-1964, saat ini ada sekitar 78 juta orang dan 55% dari angkatan kerja. Mereka percaya akan hak pribadi dan hak bersuara dilingkungan kerja. Mereka memiliki dasar pengetahuan dan bakat yang besar dalam organisasi, sehingga menghasilkan tahun-tahun hebat yang tidak mudah tergantikan.

4. Generasi X : lahir antara 1965-1977, mewakili sekitar 50 juta orang Amerika. Mereka tumbuh dalam masa perubahan sosial dan ekonomi yang cepat. Banyak yang sempat mengalami perceraian orangtua dan menyaksikan downsizing perusahaan. Akibatnya, generasi ini lebih independent, tidak mengharapkan keamanan kerja jangka panjang, praktis, fokus, dan berorientasi kedepan.

5. Generasi Y : lahir antara 1977-1997, yang berpengaruh besar terhadap praktek manajemen, pemasaran, dan produk dimasa depan. Mereka tumbuh dalam perubahan teknologi yang lebih cepat, yang mana juga dikenalkan pada mereka. Mereka akan mengerjakan tugas dengan computer, megirim surat lewat email, mendownload musik, dls. Mereka adalah generasi yang mampu melakukan multitasking, namun mereka juga tidak memberikan perhatian yang banyak dan terus-menerus membutuhkan stimulasi atau hiburan.


Berkaitan dengan generasi x dan y, beberapa hal yang harus diperhatikan perusahaan adalah : menyediakan jenjang karir yang khusus, memberi ruang untuk mengemukakan pendapat dalam membuat keputusan, menyediakan akses ke teknologi, pelatihan, dan mengembangkan strategi kompensasi dan benefit yang baru.

Bagi angkatan kerja yang telah menua, perusahaan harus memprioritaskan hal-hal berikut ini untuk memaksimalkan kinerja : profil usia dan pengalaman, syarat-syarat kinerja kerja, pengaturan kinerja, survey ketertarikan angkatan kerja, pelatihan dan konseling, dan memperhatikan struktur pekerjaan.

Bagi SDM yang memiliki kecacatan, perusahaan dapat membantu dengan menyediakan fasilitas yang mempermudah pergerakan mereka, misalnya meja yang lebih rendah, waktu yang fleksibel, penyediaan alat Bantu penglihatan dan pendengaran, dls. Umumnya perusahaan memandang SDM penyandang cacat sebagai pekerja yang baik dan kompeten jika diberi akomodasi yang memadai.

Isu yang terakhir adalah mengenai SDM yang mengalami masalah orientasi seksual. Intinya adalah sama saja dengan mempekerjakan karyawan dari ras, etnis, budaya apapun. Selama karyawan yang orientasi seksualnya berbeda tidak menimbulkan masalah dilingkungan kerja atau mencemarkan nama perusahaan, mereka berhak memperoleh kesempatan yang sama. Yang sebenarnya harus dilakukan adalah memotivasi mereka agar dapat bekerja optimal. Perusahaan-perusahaan besar yang berada dalam Fortune 1.000 tidak mempermasalahkan isu-isu seperti ini, dan banyak yang sukses menerapkan diversitas dalam budaya organisasinya.

(Mohon maaf sebelumnya, tulisan ini merupakan ringkasan dan terjemahan dari sebuah buku Human Resources Management, tapi saya lupa judul dan pengarangnya.)