Krisis Subprime Mortgage

(ditulis pada November 2007)

Subprime Mortgage adalah paket kredit kepemilikan rumah yang ditujukan bagi orang-orang miskin di Amerika. Orang-orang yang dimaksud adalah mereka yang mempunyai credit rating buruk, antara lain mereka yang pernah menunggak kredit perumahan, otomotif, maupun tagihan kartu kredit, sehingga tidak mampu memenuhi persyaratan untuk memperoleh kredit dari bank. Subprime Mortgage muncul untuk masyarakat dari segmen ini, yang mempunyai impian untuk memiliki rumah, namun terbentur dengan ketatnya persyaratan bank. Bank-bank konvensional yang ada tidak ingin mengambil resiko dengan credit rating mereka yang kurang baik. Perusahaan kredit perumahan melihat hal ini sebagai sebuah peluang bisnis yang mampu mendatangkan keuntungan yang besar, sehingga mereka berani untuk mengucurkan kredit rumah.


Sebagian dana dari perusahaan kredit perumahan didapat dari pinjaman pihak ketiga dalam jangka waktu pengembalian yang pendek (1-5 tahun). Sementara, subprime mortgage sendiri merupakan kredit jangka panjang yang bisa berkisar antara 10-20 tahun. Ini mengakibatkan terjadi mismatch credit.

Selain itu, perusahaan kredit perumahan juga berbisnis dengan margin penjualan mortgage-backed securities atau efek beragun aset (EBA). EBA merupakan kumpulan kredit yang kemudian dijual kepemilikannya kepada bank dan investor, baik individu maupun institusional. Penyebab utama meluasnya dampak subprime mortgage secara global adalah penjualan EBA yang sampai ke luar negeri. Investor mendapatkan bukti kepemilikan EBA dalam bentuk saham yang diback-up oleh properti yang diagunkan dalam proses subprime mortgage tersebut. Karena EBA yang berasal dari subprime mortgage ini cukup berisiko, maka returnnya juga cukup tinggi. Return EBA didapatkan dari cicilan pembayaran debitur-debitur subprime mortgage.

Selanjutnya, karena EBA tipe subprime mortgage ini berkarateristik high risk high return, maka cukup banyak investor hedge fund dan invesment bank yang meminatinya. Hedge Fund sendiri terdiri kumpulan dana investor raksasa yang investasinya lintas negara dan cenderung beraksi spekulatif.

Seperti disebutkan diatas, peminjam subprime mortgage adalah orang-orang yang pendapatannya rendah, sehingga kemampuannya membayar cicilan juga sangat lemah. Mereka umumnya terbawa arus booming harga rumah dan cicilan kredit yang murah beberapa tahun belakangan ini. Apalagi, booming tersebut disertai dengan tingkat suku bunga kredit terendah dalam 45 tahun terakhir, yaitu 1%. Namun, suku bunga rendah ini berakhir pada Juni 2004 ketika Bank Sentral AS secara bertahap menaikkan suku bunga patokannya sebesar 25 basis poin hingga terakhir bertahan di 5,25%.

Sejalan dengan mahalnya kredit perumahan, harga rumah pun jatuh. Ketika para debitur tidak mampu membayar cicilan kreditnya, maka EBA yang berasal dari subprime mortgage juga ikut ambruk. Nilai jualnya jadi merosot. Akibatnya, para investor yang menanamkan modalnya di EBA subprime mortgage merugi. Hal yang memperparah kondisi ini adalah banyaknya perusahaan kredit perumahan yang bangkrut karena tidak ada putaran uang yang terjadi dan diperparah dengan adanya financing mismatch.

Pasar, yang sangat sensitif terhadap kabar buruk, segera panik ketika mendengar bahwa salah satu bank terbesar di Eropa yang berasal dari Prancis dan sebuah bank Jerman mengalami masalah terhadap investasi EBA subprime mortgage di Amerika. Berita terpuruknya subprime mortgage ini mulai terkuak, dimana kerugiannya sendiri ditaksir sekitar $35 trilyun. Kepanikan pun sampai ke investor-investor di lantai bursa New York. Investor lalu mulai menjual saham-saham yang bergerak dalam industri properti, yang jumlahnya mencapai 1/3 dari total kapitalisasi pasar. Akibatnya, bursa saham secara total juga ikut terkoreksi.

Investor kemudian mulai berpikir untuk mencari alternatif alat investasi yang aman, terutama investasi di obligasi pemerintah. Sentimen negatif dan kepanikan di Wall Street yang merupakan pasar saham terbesar di dunia dengan cepat menjalar ke mana-mana. Gerakan arus modal yang semakin borderless, membuat pasar keuangan dunia menjadi saling terkait dan tergantung satu sama lain. Investor-investor global raksasa yang tergabung dalam hedge fund ataupun invesment bank, baik yang secara kebetulan memiliki investasi di subprime mortgage atau tidak, mulai menarik dananya dari pasar modal dan memasukkannya ke dalam investasi yang berisiko lebih rendah. Motifnya tidak lain adalah untuk menghindari risiko kerugian yang lebih besar. Akibat tindakan global ini, bursa-bursa saham regional dan dunia juga ikut bertumbangan.


Dampak Krisis Subprime Mortgage terhadap Amerika

1. Kurs tukar. Dolar Amerika sempat menurun sampai titik terendah selama 26 tahun terhadap Poundsterling pada tanggal 24 Juli 2007, yaitu mencapai 2,0652 Dollar per Pound. Sementara itu, pada tanggal 19 Oktober 2007 Dollar melemah terhadap European Dollar hingga mencapai 1,4315, yang merupakan rekor terendah selama 12 tahun terakhir. Penurunan ini merupakan akibat dari kepanikan pasar terhadap beberapa kejadian beruntun :

- Harga rumah yang menurun drastis
- Perusahaan pinjaman banyak yang mengalami kerugian
- Tingkat penyitaan aset yang tinggi di sektor subprime
- Credit rating CDO diturunkan
- Hegde fund yang berleverasi tinggi di CDOs (Collaterized Debt Obligations) dengan eksposur tinggi di hutang subprime banyak yang bermasalah.


2. Pasar perumahan. Perumahan merupakan sektor yang terpukul paling parah dalam ekonomi. Tingkat penutupan kredit pada bulan Juli 2007 hampir mencapai 180.000, dibandingkan dengan Juli 2006 yang sebesar 92.845**. Data konstruksi rumah baru untuk Juli 2007 menunjukkan tingkat terendah dalam satu dekade terakhir dan penurunan harga rumah merupakan yang terparah dalam 16 tahun. Sementara itu, jumlah persediaan rumah yang belum terjual menunjukkan angka tertinggi sejak mulai dihitung oleh National Association of Realtors pada tahun 1999.

Harga rumah turun drastis sebagai akibat dari dua faktor :
- Psikologi pasar menciptakan efek contagion yang mengakibatkan pembeli rumah pesimis mengenai pasar real estate.
- Selisih antara suku bunga pinjaman tinggi dengan yang normal naik sebesar 0,5%, dari selisih sebelumnya sebesar 0,25% menjadi 0,75%.


3. Industri kredit. Dua masalah yang timbul di industri kredit adalah :
- Konsumen tidak ingin membeli rumah. Ini jelas karena pasar rumah sedang jatuh dan mereka tidak ingin kehilangan nilai rumahnya.
- Peminjam diwajibkan mengetatkan syarat-syarat pinjaman. Ini mengakibatkan banyak calon pembeli rumah yang sebelumnya layak meminjam menjadi tidak layak. Selain itu, dengan banyaknya kegagalan bayar pada obligasi yang di back-up oleh pinjaman, investor tidak mau mengambil resiko untuk membeli sekuritas tersebut.

Permintaan pinjaman subprime menurun drastis. Investor juga takut untuk menyediakan kredit bagi perusahaan-perusahaan pinjaman. Akibatnya, banyak perusahaan pemberi pinjaman mengalami kebangkrutan. Bagi yang tidak sampai bangkrut, misalnya Novastar Financial Inc, memotong jumlah pekerjanya sampai 37% (atau 500 pekerjaan) dan menutup operasinya di beberapa negara bagian*. Semua perusahaan pemberi pinjaman umumnya tidak mampu melunasi hutang jangka pendeknya (mengalami masalah likuiditas), mendapat peringatan dari kreditur, membatalkan pembayaran dividennya, dan harga sahamnya anjlok. Para investor institusional telah memindahkan uang mereka ke dana yang banyak diinvestasikan ke sekuritas pemerintah.


4. Pasar saham. Harga saham yang jatuh sebagai akibat dari krisis kredit sempat naik ketika suku bunga diturunkan dari 5,25% menjadi 4,75% karena adanya ekspektasi bahwa pemerintah akan melakukan apapun untuk mengembalikan stabilitas di pasar keuangan. Bagaimanapun, beberapa ekonom percaya bahwa ini adalah awal dari tren menurun yang tajam di bursa saham dan bahwa pemotongan suku bunga saja tidak cukup untuk mengatasi kerugian di sektor pinjaman. Sebaliknya, beberapa lainnya meyakini bahwa masalah dalam ekonomi hanya berdampak jauh di sektor subprime, sedangkan sektor lainnya akan segera pulih seperti semula.


5. Pasar valuta asing. Dampak terpenting dari krisis subprime di pasar valas terlihat pada mata uang Yen sebagai carry trade. Turunnya suku bunga US telah menurunkan yield dari carry trade terhadap Yen. Akibatnya, banyak investor membeli kembali Yen mereka dan menjual USD sehingga menurunkan nilai Dolar.




Upaya Pemulihan dan Bantuan yang Dilakukan Federal Reserve

1. Bank Sentral AS menginjeksi dana sebesar $30 milyar dan $38 milyar pada masing-masing 9 dan 10 Agustus 2007 kedalam sistem perbankannya. Dana overnight/short-term loan tersebut digunakan untuk menyeimbangkan ”reserve accounts”, yaitu rekening deposit yang dimiliki bank komersial di Bank Sentral. Jumlah yang diinjeksi tersebut terus bertambah hingga bulan September, bahkan juga dari European Central Bank (ECB) dan Bank of Japan. Bank-bank komersial membutuhkan dana ini untuk :
  • Melayani penarikan uang besar-besaran dari nasabah mereka. Nasabah, yang terdiri dari individu, investor, maupun institusi, menjadi tidak mampu menilai aset mereka secara akurat dan lebih memilih instrumen finansial aman seperti US Treasury Bill. Pada tanggal 8 Agustus total aset money market fund mencapai level tertinggi $2,66 trilyun, dimana sebesar $49 milyar-nya masuk dalam satu minggu terakhir.
  • Menutupi kekurangan dana karena tidak diberi overnight loan oleh bank komersial lainnya. Ini dikarenakan para bankir mengurangi toleransinya akan resiko, sehingga mereka berusaha menahan lebih banyak reserves daripada memberikannya kepada bank lain. Resiko dalam banyak aset menjadi sulit ditelusuri. Apalagi, jaminan yang dapat diberikan saat ini kebanyakan adalah CDO dari aset subprime, yang jelas tidak ada nilainya dalam kondisi krisis seperti ini.
Faktanya, selama dua minggu pertama di bulan Agustus, bank-bank sentral di Eropa, Jepang, Australia, dan AS telah menginjeksikan dana melebihi $300 milyar ke bank-banknya. Ini menunjukkan luasnya dampak yang ditimbulkan oleh krisis subprime mortgage di AS terhadap negara-negara lain. Sementara itu, berita mengenai perusahan-perusahaan finansial raksasa dunia yang mengalami kerugian hingga milyaran dolar mulai terdengar sejak bulan Juni 2007. Berbagai sekuritas dan hedge fund mereka yang diback-up oleh pinjaman subprime menjadi tidak dapat diukur nilainya.


2. Pemotongan suku bunga
Untuk mengupayakan stabilitas, pada tanggal 17 Agustus 2007 bank sentral telah memotong target suku bunganya dari 5,25% menjadi 4,75% dan menyatakan adanya kemungkinan akan diturunkan menjadi lebih rendah lagi. Hasilnya, bursa saham kembali meningkat dan harga obligasi jatuh (yang berarti yield meningkat).


3. Pemotongan fund rate
Setelah memotong suku bunga, bank sentral memotong fund rate dari 6,25% menjadi 5,75%. Fund rate adalah suku bunga jangka pendek yang dibebankan pada bank komersial apabila mereka meminjam dari bank sentral. Pemotongan fund rate ini dipandang lebih penting daripada sekedar pemotongan suku bunga, karena lebih memiliki dampak langsung ke masyarakat. Fund rate mempengaruhi jumlah bunga yang harus dibayar konsumen untuk berbagai hutang seperti kartu kredit, kredit rumah, dan kredit otomotif.