Strategi Industrialisasi dan Proteksionisme


Akar intelektual kebijakan industrialisasi yang dikendalikan negara dimulai pada abad ke-19. Antusiasme terhadap usulan–usulan untuk industrialisasi selanjutnya melanda Jepang dan dunia Barat, yang mendorong seorang ahli ekonomi mengatakan bahwa apa yang semula tidak lebih dari tujuan kebijakan telah berubah menjadi “ideologi independensi ekonomi”, yang menghendaki “peningkatan posisi negara serta titik berat pada pada industrialisasi sebagai wahana bagi integrasi nasional” (Claire, 1980;139). Indonesia, sebagai mata rantai negara berkembang, juga tidak luput terkena demam industrialisasi tersebut. Semenjak pembangunan ekonomi dimulai secara terencana sejak tahun 1969, sesungguhnya pendekatan yang digunakan Indonesia adalah strategi industrialisasi.


A. Gagasan Industrialisasi

Secara definitif, sampai saat ini pemaknaan tentang pembangunan ekonomi yang pokok adalah pertumbuhan ekonomi yang berlangsung secara berkesinambungan sehingga menghasilkan transformasi struktural dalam perekonomian. Menurut Mellor (1987;81), pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang dengannya perekonomian diubah dari apa yang sebagian besar pedesaan dan pertanian menjadi sebagian besar perkotaan, industri, dan jasa–jasa. Jadi inti dari pembangunan ekonomi adalah adanya pertumbuhan ekonomi.

Transformasi strukrural sendiri dipahami sebagai pergeseran pertumbuhan sektor primer (pertanian) menuju sektor sekunder (industri) dan kemudian ke sektor jasa (Chandra, 1992:4). Pandangan ini dipelopori oleh Colin Clark (1940) dan Simon Kuznets (1957 dan 1958). Clark menggambarkan tentang ”modernisasi ekonomi”, atau proses pertumbuhan ekonomi dalam kerangka perubahan proporsional yang besar menuju produksi sekunder dan peningkatan yang layak dalam produksi tersier. Negara yang telah mencapai tahapan modernisasi ekonomi inilah yang dianggap telah mengalami tahap industrialisasi. Transformasi struktural disini diharuskan, karena sektor primer dipandang tiak memiliki nilai tambah yang tinggi serta nilai tukarnya rendah.

Sementara itu, tolok ukur industrialisasi menurut (Rostow, 1991:5) adalah apabila tingkat investasi dan tabungan mencapai 10% dari pendapatan nasional. Era industrialisasi ditandai dengan industri–industri baru berkembang dengan pesat, memberikan keuntungan yang sebagian besar diinvestigasikan lagi dalam bentuk baru. Indutri-industri baru ini tentunya membutuhkan banyak pekerja pabrik, yang pada akhirnya mendorong timbulnya layanan-layanan jasa yang mendukung para pekerja tersebut dan kebutuhan akan barang-barang manufaktur lainnya , perluasan lebih lanjut di daerah perkotaan dan dalam pabrik-pabrik modern lainnya.

Sedikit berbeda dengan sebelumnya, model neoklasik, dengan para tokoh-tokohnya seperti Arthur Lewis dan Hollis Chenery, lebih menekankan perhatiannya kepada mekanisme yang memungkinkan perekonomian negara terbelakang mentransformasikan struktur perekonomian dalam negeri mereka dari sesuatu yang berat seperti pertanian tradisional untuk mencukupi kebutuhan sendiri, kepada suatu perekonomian yang lebih modern, mengarah ke kota , dan beraneka di bidang industri dan jasa-jasa (Todaro 1997: 75). Intinya, neoklasik memusatkan pada bagaimana “mekanisme” perubahan struktural tersebut terjadi.

Pada dekade 1980-an, pandangan industrialisasi seperti diatas mendapat kritik dari Joan Robinson, Cohen, dan Zysman (Arief, 1995:12). Tiga ekonom Cambrige ini berargumen bahwa transformasi ekonomi bukan hanya dalam konteks pergeseran struktural dari pertanian ke manufaktur dan jasa. Tahap transformasi seharusnya dipahami dalam pengertian proses dinamika yang terjadi dalam sektor pertanian dan sektor-sektor pendukungnya. Secara spesifik, sektor pertanian diletakkan sebagai pondasi pembangunan dan sektor industri sebagai motor pembangunan, atau offshoot dari sektor pertanian.


Dengan demkian, setidaknya ada dua karakteristik transformasi ekonomi yang merupakan model dasar dari percepatan industrialisasi yang dikembangkan dalam jangka panjang, yaitu :
1. Sektor pertanian harus terus mengalami dinamika internal (produktivitas yang terus meningkat) dan menjadi basis bagi sektor industri yang dikembangkan.
2. Sektor industri yang dikembangkan mempunyai saling keterkaitan dengan sektor pertanian, yang jika didinamisasikan akan menjadi kunci hebat bagi pertumbuhan sektor manufaktur.


B. Industrialisasi dan Proteksionisme

Terdapat tiga pemikiran strategi industrialisasi yang berkembang di Indonesia, dimana ketiganya pernah diaplikasikan secara tersendiri maupun bersama- sama yakni antara lain sebagai berikut :

1. Strategi industrialisasi yang mengembangkan industri–industri yang berspektrum luas (broad- based industry), seperti industri elektronik, tekstil, otomotif, dll. Argumentasi rasionalnya adalah bahwa Indonesia memiliki beberapa keunggulan yang memadai seperti tenaga kerja murah dan sumber daya alam, sehingga negara-negara maju tertarik untuk berinvestasi di Indonesia. Selain itu, dalam jangka panjang Indonesia mengambil pelajaran dan teknologi dari industri-industri asing tersebut.

2. Strategi industrialisasi yang mengutamakan industri-industri berteknologi canggih berbasis impor (hi-tech industry), seperti industri pesawat terbang, industri peralatan, dan senjata militer, industri kapal, dll. Argumentasi rasionalnya adalah bahwa pendekatan ini merupakan cara agar peningkatan pertumbuhan ekonomi tetap terjaga dalam jangka panjang, karena relatif menghasilkan nilai tambah yang besar. Apabila mengandalkan sektor primer, nilai tambahnya kecil dan juga mudah disaingi oleh pihak asing.

3. Industri hasil pertanian (agroindustry) berbasis dalam negeri dan merupakan kelanjutan pertanian. Argumentasinya adalah bahwa industrialisasi akan berjalan apabila disandarkan pada keunggulan di negara bersangkutan. Karena keunggulan Indonesia terletak di sektor pertanian, industrialisasi harusnya berpijak pada sektor tersebut. Jika tidak demikian, industrialisasi akan menimbulkan masalah ketimpangan pendapatan dan pengangguran.

Namun, kenyataan pada awal-awal pemerintahan Orde Baru menunjukkan tingkat industrialisasi yang sangat rendah. Hasil produksi manufaktur Indonesia bahkan kalah dari negara berkembang yang lebih kecil, seperti Hong Kong dan Filiphina. Sektor ”pabrik” sangat kekurangan bahan input, terutama yang berasal dari luar negeri. Keterbelakangan industrialisasi tersebut segera ditindaklanjuti dengan berbagai upaya. Namun, upaya-upaya ini memiliki kendala pada kondisi negara yang serba terbatas, baik dalam hal modal, kualitas sumber daya manusia, dan minimnya teknologi. Ini menyiratkan betapa sedikitnya alternatif yang dapat dipilih oleh pengambil kebijakan. Di satu sisi, bantuan asing sangat diharapkan kehadirannya, sedangkan di sisi lain sektor yang dikembangkan harus mengacu kepada potensi ekonomi domestik yang dapat dikerjakan oleh sebagian besar masyarakat.

Akhirnya, proses industrialisasi Indonesia ditopang oleh sejumlah besar kebijakan yang sangat proteksionis di bidang perdagangan dan industri, termasuk diantaranya penggunaan bea masuk yang tinggi, penggunaan non-tariff barriers yang meluas, dan bahkan larangan total terhadap impor. Ini memang perlu dilakukan mengingat industri-industri domestik yang masih belum efisien berproduksi. Jika persaingan dibuka, dikhawatirkan industri domestik akan kalah dan tidak mampu bertahan, dan perekonomian nasional akan kembali terjebak oleh penguasaan asing.

Dengan pola pandang tersebut, industrialisasi di Indonesia sejak awal telah menempuh strategi substitusi impor (SI). Strategi SI ini sarat dengan berbagai intervensi negara untuk melindungi kegiatan ekonomi nasional dari pihak asing, sehingga sering pula disebut ”rezim proteksionalisme”. Strategi ini memang telah benar diterapkan pada tahap awal industrialisasi di Indonesia. Secara internal, strategi ini dapat memperkuat struktur industri domestik dan secara eksternal mencegak pihak asing melakukan penetrasi terhadap ekonomi nasional.


C. Fase-fase Industrialisasi

Ada tiga fase dengan penekanan kebijakan yang berbeda-beda dalam pengerjaan proyek industrialisasi selama Orde Baru, yaitu :

1. Strategi substitusi impor tahap pertama, yaitu di awal 1970an sampai akhir 1970an, yang didukung oleh sejumlah besar kebijakan tarif bea masuk dan pajak penjualan barang impor yang dibebankan sekaligus.
2. Substitusi impor tahap kedua, dengan menggalakkan pengembangan industri-industri hulu, terutama industri dasar pengolahan sumber daya seperti industri baja dan industri aluminium.. Untuk mendorong proses ini, pemerintah mulai melakukan non-tariff barriers, terutama pembatasan impor kuantitatif dan program-program penghapusan.
3. Dengan momentum kemerosotan harga minyak pada tahun 1982, ditempuh kebijakan pengembangan sektor industri manufaktur yang berorientasi ekspor.

Fase-fase industrialisasi yang ditempuh Indoensia sebetulnya mirip dengan yang dilakukan negara-negara berkembang lain seperti Taiwan, Korea Selatan, dan Hongkong. Sektor pertanian diletakkan sebagai pondasi pembangunan sejalan dengan keyakinan bahwa peningkatan sektor pertanian merupakan prasyarat keberhasilan industrialisasi. Skenarionya adalah, peningkatan sektor pertanian akan meningkatkan permintaan awal (input) bagi barang-barang industri. Sedangkan proses industrialisasi sangat membutuhkan bahan mentah maupun setengah jadi dari komoditas primer, khusunya produk pertanian.

Namun, di Indonesia jenis industri yang dikembangkan sangat beraneka sehingga tidak mudah untuk dianalisis. Jenis industri manufaktur di Indonesia terdiri dari :

1. Industri padat karya, dengan ciri-ciri : penyerapan tenga kerja tinggi, berorientasi ekspor, sebagian besar dimiliki swasta, dan tingkat konsentrasi yang rendah.
2. Industri padat modal dan tenaga trampil, dengan ciri-ciri : berorientasi pasar domestik, sebagian besar kendali ada di pemerintah atau PMA, dan tingkat konsentrasi yang tinggi.
3. Industri padat sumber daya alam, dengan ciri-ciri : orientasi ekspor yang tinggi, sebagian besar kepemilikan di tangan swasta, dan tingkat konsentrasi yang rendah.
4. Industri padat teknologi, dengan ciri-ciri : semakin berorientasi ekspor, kepemilikan ada di tangan asing dan swasta, kandungan impor dan tingkat konsentrasi yang tinggi.

Dalam kurun waktu tidak lama, tujuan transformasi ekonomi memang segera menunjukkan hasil. Pada tahun 1971, kontribusi sektor pertanian (termasuk kehutanan, perikanan, dan peternakan) dalam pembentukan PDB mencapai 44,8%. Namun pada tahun 1980 menurun menjadi 24,8% dan pada tahun 2001 tinggal 17%. Sebaliknya, sektor pengolahan pada tahun 1971 hanya menyumbang 8,4% dalam PDB. Pada tahun 1980 dan 2001 meningkat menjadi masing-masing 11,6% dan 25%. Pola yang sama juga terjadi pada sektor bangunan dan perdagangan yang semakin meningkat peranannya. Sementara itu, perkembangan data yang lebih baru dan lengkap menunjukkan tahun 2005 sektor pertanian hanya menyumbang 13,41% terhadap PDB dan sektor indusri 28,05%.

Salah satu analisis mendeskripsikan bahwa dalam banyak hal Indonesia tidak mengalami pendalaman yang berarti dalam industrialisasi. Negara-negara yang telah mapan melakukan industrialisasi biasanya ditandai bukan hanya oleh pergeseran sektor ekonomi dengan lebih bertumpu pada sektor industri, melainkan juga dengan semakin intensifnya proses manufacturing dalam sektor yang bersangkutan. Negara-negara seperti Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, dan Singapura yang memulai proses industrialisasi hampir bersamaan dengan Indonesia memiliki struktur industri yang lebih padat pemrosesan (manufacturing) dan enjiniring. Dengan demikian, penguasaan teknologi dan nilai tambah produk menjadi memungkinkan. Sebaliknya, di Indonesia sebagian besar industri yang berjalan masih tergantung pada pola-pola yang tidak membutuhkan pemrosesan.


D. Peta Industrialisasi di Indonesia

Sebelum Indonesia mengkaji fenomena ekspornya, hal penting yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi arah strategi pengembangan industri dan mendiagnosa struktur pasar ekonomi Indonesia. Ini perlu dilakukan karena tujuan pembangunan ekonomi Indonesia adalah menciptakan terjadinya transformasi ekonomi. Dari titik inilah muncul tiga persoalan struktural dalam ekonomi Indonesia, yakni :

1. Belum dirumuskannya jenis industri dan produk yang hendak dikembangkan dan dijadikan andalan di masa depan secara tuntas. Selama ini, perdebatan mengenai kedua hal tersebut masih dilakukan secara kurang transparan dan melibatkan banyak elemen masyarakat. Akibatnya, strategi industrialisasi lebih banyak didekati dengan subjektivitas daripada mempertimbangkan aspek-aspek rasional sesuai cerminan kebutuhan ekonomi nasional.

2. Sistem produksi dan distribusi ekonomi nasional masih mengandalkan pola proteksionisme sehingga menimbulkan distorsi pasar. Ini erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah Orde Baru, yaitu substitusi impor. Dalam perkembangannya, strategi SI justru menyebabkan iklim monopoli dalam pasar ekonomi Indonesia. Strategi SI tidak direncanakan secara selektif, sehingga banyak yang memanfaatkan kebijakan tersebut untuk mengeruk keuntungan secara berlebih tanpa proses usaha yang efisien. Apalgi kebijakan-kebijakan khas rezim SI tidak segera direvisi ketika industri menunjukkan prestasi yang tidak sesuai.

3. Keberadaan sektor pertanian di Indonesia sangat memperihatinkan, dimana disamping kontribusinya terhadap pendapatan nasional telah sangat kecil, juga tidak menunjukkan adanya proses modernisasi dan keterkaitan dengan proyek industrialisasi yang dikerjakan. Ini diakibatkan adanya perbenturan ide tentang strategi industrialisasi yang akan dijalankan dan perbedaan kepentingan politik antara pengambil kebijakan (penguasa) dengan pelaku dunia usaha (pengusaha).

Sebenarnya, Indonesia telah memiliki informasi akurat (melalui data neraca perdagangan) mengenai identifikasi jenis teknologi dan produk apa yang bisa diprioritaskan. Yang pasti, unsur teknologi dalam pembangunan ekonomi saat ini tidak perlu lagi dipertanyakan, karena merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Hal yang harus dipikirkan adalah pada sektor apa teknologi tersebut harus dikonsentrasikan dan pada level mana jenis teknologi harus diproduksi dan dikembangkan. Perdagangan sektor industri manufaktur Indonesia selama ini selalu defisit. Padahal, total neraca perdagangan Indonesia selalu menunjukan angka surplus yang berarti. Selain itu, dari identifikasi pemakaian jenis teknologi diketahui bahwa industri manufaktur yang memakai teknologi tinggi dan menengah menyumbangkan defisit terbesar. Sebaliknya, industri berteknologi rendah justru selalu surplus dan menutupi kekurangan pada industri lainnya. Besarnya defisit industri berteknologi ini dikarenakan besarnya kandungan impor dan dominasi asing.

Jika dilihat dari kontribusi ekspor Indonesia, sektor industri pengolahan memberikan sumbangan yang paling besar, disusul oleh sektor pertambangan dan pertanian. Namun, sumbangan terbesar pada sektor industri pengolahan dan pertambangan dilakukan oleh usaha skala besar, sebaliknya di sektor pertanian dilakukan oleh usaha kecil dan menengah. Ini menunjukkan bahwa kontribusi ekspor sektor industri dan pertambangan hanya dinikmati oleh segelintir pelaku ekonomi skala besar, tetapi di sektor pertanian yang menikmati adalah pelaku ekonomi skala kecil dan menengah. Artinya, selama ini pelaku ekonomi skala kecil dan menengah di sektor industri pengolahan hanya berorientasi ke pasar domestik, dimana ini mungkin sebagai akibat dari keterbatasan akses informasi dan permodalan. Pemerintah harus segera mengupayakan agar pelaku usaha kecil dan menengah, khususnya di sektor industri pengolahan juga turut menyumbangkan ekspor produk-produk manufaktur.


Referensi :
Yustika, Ahmad Erani (2007), Satu Dekade Pasca Krisis Ekonomi, Malang : BPFE- UNIBRAW, hal.74-93
Prawiro, Radius (1998), Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi, Jakarta : PT. Elex Media Komputindo, hal. 205-227
www.suaramerdeka.com