Mengukur Output Nasional (Produk Domestik Bruto/PDB atau Gross DometikProduct/GDP)

Cara yang paling umum digunakan untuk mengukur output nasional adalah melalui Produk Domestik Bruto (PDB) atau sering disebut sebagai Gross Domestic product (GDP). GDP menghitung total produksi (barang dan jasa) didalam suatu negara pada periode tertentu, biasanya satu tahun. GDP berbeda dengan GNP (Gross national product), dimana GNP menghitung total produksi (barang dan jasa) termasuk yang dihasilkan oleh perusahaan ataupun tenaga kerja Indonesia yang berada di luar negeri. Sedangkan GDP mencakup semua produksi yang dilakukan di dalam negeri, termasuk yang dihasilkan oleh perusahaan ataupun tenaga kerja asing di dalam negeri. Dengan demikian, titik berat GNP adalah pada nationality sebuah produksi, sedangkan GDP lebih pada location.


Tantangan utama dalam pengukuran GDP adalah  menghindari double counting, atau perhitungan output yang sama lebih dari sekali. Oleh sebab itu, dalam GDP yang dihitung hanya produk akhir (final good). Metode perhitungan produk akhir ini disebut juga metode anggaran. 

Contoh sederhana, misalkan sebuah bakery memproduksi roti seharga Rp.10.000/buah dan langsung dijual ke konsumen akhir (konsumen akhir adalah konsumen yang akan lagsung mengkonsumsi roti tersebut, bukan untuk diolah/dijual lagi), maka Rp.10.000 ini akan dihitung dalam GDP karena merupakan final good. Sekarang misalkan untuk membuat roti tersebut membutuhkan tepung, gula, dan telur yang dibeli si pembuat roti dari pemasoknya. 
Anggap pemasok A menjual tepung dan gula seharga Rp.2.000, dan pemasok B menjual telur seharga Rp.1.000 untuk digunakan dalam pembuatan roti tersebut. Maka tepung, gula, dan telur tersebut tidak akan dihitung dalam GDP, karena fungsinya disini adalah sebagai produk perantara (intermediate product). 

Bayangkan jika hasil produksi ketiganya dicatat dalam GDP ketika pemasok menjualnya ke pembuat roti, padahal ketiganya masih digunakan untuk produksi yang lebih lanjut, dan dalam roti seharga Rp.10.000 tersebut telah terkandung nilai ketiganya. Maka pencatatan output tepung, gula, dan telur tersebut akan menjadi double, yaitu ketika pemasok memproduksi dan menjualnya ke pembuat roti dan ketika pembuat roti menjual rotinya (yang mengandung ketiga bahan tersebut) ke konsumen akhir. Oleh karena itu, GDP hanya mencatat nilai pasar semua final goods yang diproduksi di suatu negara pada periode tertentu. Dalam contoh diatas, jika misalnya telur dijual langsung ke konsumen akhir, misalnya rumah tangga, yang akan membawa pulang telur dan menggorengnya di rumah, maka telur tersebut akan dicatat dalam GDP.


Selain metode perhitungan diatas, ada juga metode lain, yaitu dengan fokus pada nilai tambah (value-added) dari produk. Misalnya seorang penjahit  membeli kemeja setengah  jadi seharga Rp.8.000, kemudian menambahkan kancing dan dan manik-manik yang dibeli seharga Rp.2.000, kemudian menjualnya ke konsumen akhir seharga Rp.30.000. Maka value-added nya disini adalah sebesar (Rp.30.000 - (Rp.8.000+Rp.2.000)) atau Rp.20.000. Namun cara perhitungan ini kurang populer digunakan dalam perhitungan GDP di negara-negara.


Pemerintah biasanya membagi pengukuran GDP ini dalam lima kategori, yaitu konsumsi rumah tangga (C), investasi pada aset produktif (I), belanja pemerintah (G), ekspor (EX), dan impor (M). Penggunaan kategori-kategori ini juga adalah untuk menghindari double counting. C, misalnya, mencerminkan semua konsumsi yang dilakukan oleh rumah tangga (konsumen akhir), namun I tidak memasukkan semua pengeluaran perusahaan (hanya barang-barang investasi saja). Ini karena beberapa barang yang dibeli perusahaan untuk diolah atau dijual lagi, misalnya bahan baku dan barang setengah jadi. Jika ini dihitung dalam GDP, maka akan menghasilkan kelebihan perhitungan (over counting) karena ada double counting. Karena itu, investasi yang dihitung dalam GDP hanya investasi yang tidak akan digunakan dalam jangka pendek (biasanya satu tahun). Selain I, M juga perlu diperhatikan karena barang impor yang dibeli konsumen akhir tidak diproduksi di negara tersebut, sehingga harus dikurangkan dari GDP. Maka persamaan GDP yang diperoleh adalah sebagai berikut :

Output nasional (GDP) = C + I + G + EX - M

Dengan demikian, ada tiga metode perhtiungan GDP :  metode anggaran, metode fokus pada nilai tambah, dan metode fokus pada pendapatan.

Metode lain untuk menghitung GDP adalah dengan fokus pada pendapatan. Metode ini juga jarang digunakan dalam perhitungan GDP. Pendapatan adalah jumlah yang dibayarkan ke faktor produksi, tenaga kerja dan modal, atas jasa mereka. Biasanya ini dalam bentuk upah, gaji, dividen, bunga, sewa, dan royalti. Total pendapatan seharusnya sama dengan total output, karena digunakan untuk membayar produksi output.


Apa yang Membuat Output Nasional (GDP) dapat Naik atau Turun?

Ada banyak pendapat mengenai penyebab naik turunnya output, namun banyak ahli ekonomi yang setuju akan dua penyebab berikut ini:
  1. Sumber pertumbuhan. Ahli-ahli ekonomi sering merujuk pada tiga sumber pertumbuhan, yaitu : peningkatan tenaga kerja, peningkatan modal, dan peningkatan efisiensi dimana kedua faktor ini digunakan. Jumlah tenaga kerja dapat meningkat jika pekerja yang telah tersedia bekerja lebih lama, atau jika ada tambahan tenaga kerja baru. Sedangkan persediaan modal dapat meningkat jika perusahaan mendorong kapasitas produktifnya dengan menambah pabrikdan peralatan (investasi). Efisiensi bertambah ketika output yang lebih dapat diperoleh dari jumlah tenaga kerja dan/atau modal yang sama. Ini sering disebut sebagai Total Factor Productivity (TFP). Pendorongan ketiga sumberini disebut juga supply-side economy, atau ekonomi dari sisi penawaran.

  2. Terjadinya penurunan (downturns) pada ekonomi (resesi dan depresi). Ini menjawab pertanyaan mengapa output dapat turun atau naik lebih lambat. Secara logika, apapun yang menyebabkan penurunan pada tenaga kerja, modal, atau TFP akan menyebabkan penurunan pada output atau setidaknya pada tingkat pertumbuhan output. Misalnya, peristiwa seperti bencana alam, penyebaran penyakit berbahaya, teroris, dan kerusuhan. Peristiwa-peristiwa diatas akan mempengaruhi ketiga sumber pertumbuhan diatas,dalam hal kuantitas maupun kualitas. Selain peristiwa diatas, output juga dapat berkurang drastis jika terjadi resesi dan depresi. Ketika terjadi resesi ataupun resesi, output potensial tetap pada jumlah yang sama (jumlah tenaga kerja dan modal yang tersedia tetap sama seperti sebelumnya). Namun output sesungguhnya jatuh drastis karena jatuhnya permintaan secara besar-besaran di pasar. Ini mencerminkan bahwa pertumbuhan ekonomi juga penting diperhatikan selain hanya supply-side economy. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengelola permintaan melalui kebijakan fiskal dan moneter utnuk menghindari atau mengurangi dampak dari terjadinya resesi maupun depresi.