Contoh Future Wheels

Berikut ini adalah gambaran future wheels sebagai rentetan akibat dari rendah/turunnya suku bunga.

[caption id="attachment_145" align="aligncenter" width="300" caption="null"][/caption]


Seperti yang terlihat diatas, rendahnya suku bunga menimbulkan dampak yang berkepanjangan bagi segi-segi kehidupan lainnya. Berbagai dampak lain muncul dari dampak-dampak primer yang ada, sehingga dapat ditelusuri sampai beberapa dimensi kedepan. Dalam contoh ini, terlihat bahwa dampak ekonomi sangat luas rentetannya. Hal ini dikarenakan kejadian yang dipilih berkaitan erat dengan ekonomi makro sehingga pengaruh ekonominya sangat luas bagi kehidupan masyarakat.

Elastisitas Permintaan dan Penawaran


A. Elastisitas Harga Permintaan

Elastisitas harga permintaan mengukur seberapa banyak permintaan barang dan jasa (konsumsi) berubah ketika harganya berubah. Elastisitas permintaan ditunjukkan dalam bentuk prosentase perubahan atas kuantitas yang diminta sebagai akibat dari satu persen perubahan harga.

Koefisien Elastisitas Permintaan

Perhitungan koefisien elastisitas permintaan dengan menggunakan metode mid point adalah sebagai berikut :

Tantangan Industrialisasi Pertanian di Indonesia

Pemerintah Indonesia pernah bertekad untuk mencapai swasembada beras dalam tempo lima tahun ketika Repelita I dimulai pada tahun 1969. Negara tidak berhasil mencapai tujuan ini, namun swasembada beras menjadi tujuan implisit dan eksplisit dalam semua kebijakan pertanian Indonesia sampai tujuan tersebut dicapai 15 tahun kemudian pada tahun 1984. Misi ini sesungguhnya merupakan misi yang sangat berat bagi Indonesia, yang relatif mudah direncanakan namun jauh lebih rumit dan sukar dalam pencapaiannya.

Untuk mengerti pentingnya pencapaian swasembada beras, perlu diketahui kedudukan khusus beras dalam menu, budaya, dan politik Indonesia. Beras adalah bahan makanan pokok bagi orang Indonesia. Berbagai bahan makanan lain pengganti beras pernah dianjurkan oleh pemerintah, namun rakyat tidak menyukainya. Ketika harga beras melonjak sampai pada titik dimana konsumsinya harus dikurangi, penduduk menjadi kekurangan gizi dan kelaparan. Beras adalah pusat dari semua hubungan pertalian sosial.

Ilusi Uang (Money Illusion)

Ilusi uang terjadi karena orang cenderung lebih memperhatikan nilai nominal daripada nilai riil. Ini mengakibatkan perekonomian menjadi tidak seimbang. Jika seorang pekerja menerima kenaikan upah sebesar 10%, namun tingkat inflasi tahun tersebut juga sebesar 10%, maka sebenarnya daya belinya tidak bertambah. Upahnya hanya naik secara nominal, namun tidak secara riil. Ini karena ia tidak mampu membeli barang lebih banyak dari yang mampu dibelinya dengan upah sebelum kenaikan 10% (karena harga barang rata-rata juga naik 10%). Namun pekerja tersebut akan senang karena ia mengira upahnya telah naik, padahal daya beli riilnya tetap sama.


Ilusi uang juga dapat menjelaskan mengapa upah sulit berubah (tidak fleksibel), terutama jika akan diturunkan. Pekerja, misalnya, yang tidak menyadari nilai riil tidak akan dapat meminta kenaikan upah yang proporsional ketika harga-harga naik (inflasi). Padahal, jika misalnya inflasi adalah sebesar 10% dan upahnya hanya naik 6%, maka daya belinya telah menurun 4%. Sebaliknya, ketika harga-harga turun (deflasi), para pekerja tidak akan terima jika upahnya diturunkan, padahal daya beli riil mereka sesungguhnya telah meningkat. Misalnya saja, harga rata-rata turun sebesar 10% (atau inflasi -10%), maka pada tingkat upah yang sama, daya beli riil pekerja telah meningkat sebesar 10%. Namun para pekerja tidak menyadarinya karena mereka terjebak dalam ilusi uang.


Beberapa ahli ekonomi memandang ilusi uang, yang mengakibatkan sulitnya menurunkan upah, sebagai penyebab banyaknya pengangguran pada masa deflasi. Jika pekerja menolak menerima upah yang lebih kecil ketika harga-harga turun, ini berarti upah riil mereka mengalami kenaikan. Sementara bagi perusahaan, harga, dan karenanya pendapatan, mengalami penurunan. Akibatnya, pada tingkat tertentu perusahaan tidak mampu lagi membayar upah pekerja yang besarnya tetap. Ini memaksa perusahaan memecat pekerja, sehingga timbul banyak pengangguran. Sebaliknya, jika tidak ada ilusi uang dan pekerja bersedia diturunkan upahnya, hal ini mungkin tidak akan terjadi.

Investasi Asing

Investasi asing dibutuhkan oleh negara-negara berkembang, terutama untuk memenuhi kebutuhan modal dan teknologi yang tinggi. Apalagi bagi negara yang menganut sistem ekonomi terbuka, masuknya investasi asing merupakan hal yang wajar dan merupakan konsekuensi dari sistem yang dianut. Bagi Indonesia sendiri, masuknya dana asing akan memberi pengaruh positif bagi kurs tukar rupiah karena permintaan rupiah meningkat. Namun, investasi asing yang berlebihan dan tidak pada tempatnya dapat pula membahayakan rupiah dan kondisi perekonomian dalam jangka panjang.

Bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, investasi asing selain untuk memenuhi kebutuhan modal dan teknologi juga harus mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Investasi asing tentu dilakukan investor untuk keuntungan mereka sendiri. Oleh sebab itu, perlu adanya pengaturan-pengaturan dari pemerintah Indonesia bagaimana agar investasi yang masuk juga dapat memberi manfaat bagi negara dan terutama rakyat. Investasi asing setidaknya harus memenuhi 2 manfaat, yaitu :
1. Manfaat finansial : yaitu dapat menghasilkan pendapatan bagi negara berupa pajak, dividen, royalti, dls.
2. Manfaat ekonomi : yaitu dapat menciptakan lapangan pekerjaan, transfer teknologi dan skill, terwujudnya industri yang kompetitif dan efisien, dan berbagai kepentingan strategis lainnya.

Ada 2 jenis investasi, yaitu :
a) Investasi asing langsung (Foreign Direct Investment)
FDI atau investasi di sektor riil adalah investasi yang langsung ditanamkan di industri atau bidang usaha tertentu seperti pertambangan, properti, pertanian, dan lain sebagainya. Investasi di sektor riil sangat penting karena dapat memberi manfaat ekonomi yang besar bagi Indonesia melalui penyerapan tenaga kerja, pengurangan kemiskinan, peningkatan kualitas SDM, pertumbuhan industri, dan penggarapan berbagai sumber daya ekonomi.
Sayangnya, jumlah FDI di Indonesia masih sangat kecil apabila dibandingkan dengan investasi tidak langsung (portofolio). Padahal investasi di sektor riil inilah yang dapat memberikan manfaat ekonomi dan finansial yang strategis bagi Indonesia. Seperti yang telah dibahas dibagian sebelumnya, pemerintah masih menghadapi banyak tantangan dan kendala dalam memberdayakan FDI.
b) Investasi asing tidak langsung
Investasi tidak langsung banyak dilakukan dalam bentuk saham korporasi, surat obligasi, Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan Surat Utang Negara (SUN). Data Bank Indonesia menyebutkan hingga 10 Mei 2007, jumlah dana asing di SBI mencapai Rp 45,3 triliun. Sedangkan yang ditempatkan di SUN sebesar Rp 77,2 triliun. Banyaknya dana asing dari investasi ini memang telah menguatkan nilai rupiah, namun penguatan tersebut tidak ada artinya apabila tidak membawa dampak positif bagi sektor riil dan rakyat.

Dana dari investasi portofolio umumnya bersifat jangka pendek (hot money) dan dapat ditarik kembali oleh investor (arus balik) setiap saat apabila ada negara lain yang menawarkan keuntungan lebih besar. Oleh karena itu, ada kemungkinan pemerintah akan mengalami guncangan ekonomi apabila suatu waktu dana tersebut ditarik kembali oleh investor dalam jumlah besar. Selain itu, investasi portofolio juga sulit menjangkau kesejahteraan rakyat. Jadi, meskipun mampu mendorong nilai rupiah, tidak ada peningkatan yang berarti di sektor riil.

Suku Bunga Nominal vs. Riil

Suku Bunga Nominal

Suku bunga nominal adalah suku bunga yang biasa kita lihat bank atau media cetak. Misalnya perusahaan meminjam uang dari bank sebesar $100.000 selama setahun pada suku bunga nominal 10%, maka pada akhir tahun perusahaan harus mengembalikan pinjaman tersebut sebesar $110.000 (yaitu $100.000 x 10%).

Suku bunga nominal cenderung naik seiring dengan angka inflasi. Jika, misalnya, bank memberlakukan suku bunga 10% pada ekspektasi inflasi selama satu tahun ke depan adalah 0%, maka bank mungkin akan memberlakukan suku bunga 13% jika ekspektasi inflasinya adalah 3%.


Suku Bunga Riil

Suku Bunga Riil adalah suku bunga setelah dikurangi dengan inflasi, (atau suku bunga riil = suku bunga nominal – ekspektasi inflasi). Misalnya pada contoh diatas inflasi yang diantisipasi adalah sebesar 3% dan suku bunga nominal naik menjadi 13%, maka suku bunga riil sebenarnya tidak berubah (yaitu 13% - 3%).
Suku bunga riil sangat penting dipertimbangkan. Bagi orang yang menabung uang di bank, misalnya, dengan tingkat suku bunga 5% dan inflasi tahun tersebut ternyata sebesar 4%, maka suku bunga riil yang ia peroleh hanyalah sebesar 1%. Hal ini dikarenakan inflasi yang terjadi selama ia menabung uang telah mengurangi nilai keuntungan (bunga) yang diperoleh.

Sementara bagi orang yang meminjam uang dari bank, jika suku bunga pinjaman sebesar 12% dan tingkat inflasi sebesar 5%, maka suku bunga riil yang harus dibayar hanyalah 8%. Ini dikarenakan harga barang dan jasa (termasuk pendapatan si peminjam) rata-rata naik sebesar 5%, sehingga biaya atas pinjaman (cost of capital) hanya tinggal 8%.

Krisis Subprime Mortgage

(ditulis pada November 2007)

Subprime Mortgage adalah paket kredit kepemilikan rumah yang ditujukan bagi orang-orang miskin di Amerika. Orang-orang yang dimaksud adalah mereka yang mempunyai credit rating buruk, antara lain mereka yang pernah menunggak kredit perumahan, otomotif, maupun tagihan kartu kredit, sehingga tidak mampu memenuhi persyaratan untuk memperoleh kredit dari bank. Subprime Mortgage muncul untuk masyarakat dari segmen ini, yang mempunyai impian untuk memiliki rumah, namun terbentur dengan ketatnya persyaratan bank. Bank-bank konvensional yang ada tidak ingin mengambil resiko dengan credit rating mereka yang kurang baik. Perusahaan kredit perumahan melihat hal ini sebagai sebuah peluang bisnis yang mampu mendatangkan keuntungan yang besar, sehingga mereka berani untuk mengucurkan kredit rumah.

GDP Nominal vs. Rill

GDP dihitung dengan mengalikan total output nasional suatu negara dengan harga output. Misalnya sebuah negara hanya menghasilkan tiga jenis output pada tahun 2000 :
A = 1000 unit
B = 2000 unit
C = 3000 unit

Jika harga A, B, dan C masing adalah $100, $200, dan $150, maka GDP negara tersebut adalah sebesar :
A = 1000 unit x $100 = $100.000
B = 2000 unit x $200 = $400.000
C = 3000 unit x $100 = $300.000 +
Total GDP                       $800.000



GDP Nominal

GDP nominal dihitung dengan mengalikan jumlah output dengan harga pasar output (atau GDP nominal = P x Q). Misalkan pada tahun 2001 output negara tidak berubah, namun terjadi inflasi sebesar 10% sehingga harga produk A, B, dan C masing-masing naik sebesar 10%. Maka perhitungan GDP secara nominal untuk tahun 2001 adalah sebagai berikut :

A = 1000 unit x $110 = $110.000
B = 2000 unit x $220 = $440.000
C = 3000 unit x $110 = $330.000 +
Total GDP                       $880.000

Melalui perhitungan GDP nominal, perbandingan antara tahun 2000 dan 2001 menunjukkan adanya pertumbuhan GDP sebesar 10%. Namun perlu diperhatikan bahwa output tidak berubah (yaitu unit output tetap sama dengan tahun sebelumnya). Pertumbuhan GDP sebesar 10% terjadi karena ada inflasi (kenaikan harga), bukan karena ada peningkatan jumlah output. Oleh karena itu, perhitungan GDP secara nominal dapat menimbulkan kesalahan dalam menentukan pertumbuhan ekonomi (GDP) suatu negara.



GDP Riil

GDP riil menghitung GDP dengan mengalikan jumlah output dengan harga yang konstan, artinya tidak menggunakan harga pasar yang berlaku pada tahun tersebut. Harga konstan ini dapat ditentukan dengan menggunakan satu tahun dasar yang mana harganya dijadikan acuan. Pada contoh ini, diasumsikan harga adalah berdasarkan tahun dasar 2000. Maka selanjutnya kita perlu menghitung deflator harga untuk 2001, yaitu :

Deflator harga 2001 = GDP nominal / GDP riil (Q)
= 880.000 / 800.000
= 1,1

Setelah diketahui deflator harga tahun 2001, maka GDP riil dapat diketahui sebagai berikut :

GDP riil 2001 = GDP nominal 2001 / Deflator harga 2001

= $880.000 / 1,1
= $800.000

Sehingga diketahui bahwa GDP riil pada tahun 2001 ternyata sama dengan GDP tahun sebelumnya, artinya tidak ada pertumbuhan output. Negara-negara umumnya mengacu pada GDP riil ketika mereka menghitung dan mempublikasikan angka GDP-nya.
Pada perhitungan GDP, dapat juga ditemui terjadi pertumbuhan baik pada perhitungan GDP riil maupun nominal, namun GDP nominal tumbuh lebih banyak. Hal ini mengimplikasikan bahwa output nasional memang meningkat, namun disertai pula dengan inflasi.

Pemotongan Dividen di Industri Utilitas (Kasus Florida Power & Light)

FPL Group, Inc. berdiri pada 1984, adalah salah satu penyedia layanan listrik terbesar di Amerika dan terkenal sebagai organisasi yang berkualitas tinggi, efisien, dan customer-driven. Anak perusahaannya yang utama adalah Florida Power & Light (FPL), yang melayani sekitar 8,5 juta orang di bagian Timur dan Selatan Florida. FPL Group dan FPL merupakan pemimpin pasar dalam produksi listrik dari bahan bakar daur ulang yang bersih, dengan kapasitas lebih dari 34.000 megawatt. Pada akhir 2006, total karyawan FPL Group dan anak perusahaannya mencapai 13.300 orang.

Florida Power & Light (FPL) Group di Tahun 2006

1. Keuangan

Berdasarkan laporan tahunan 2006 perusahaan, manajemen FPL Group menyatakan bahwa mereka mencapai kinerja yang sangat memuaskan selama tahun tersebut. Beberapa data yang mendukung pernyataan tersebut diantaranya :

a) Total pengembalian bagi pemegang saham FPL Group adalah 36%, yang mana melebihi kinerja return dari S&P Electric Utilities (23%) dan Dow Jones U.S. Electricity Utilities (17%). Hasil 36% tersebut juga merupakan dua terbaik dari semua utilitas besar di Amerika.

b) Laba bersih mencapai hampir $ 1.3 milyar, atau $ 3,23/lembar saham di tahun tersebut. Laba bersih mengalami peningkatan dari $ 901 juta, atau $ 2,34/lembar saham, di tahun 2005. Bagi FPL sendiri, laba bersih tahun 2006 naik menjadi $ 802 juta, atau $ 2,02/lembar saham, dibandingkan dengan $ 784 juta, atau $ 1,94/lembar saham, di tahun sebelumnya.

c) Pertumbuhan pelanggan FPL konsisten selama tiga tahun terakhir, yaitu 2%. Rekening pelanggan pada 2005 adalah 4,4 juta, yang bertambah sebesar 88,000 pada 2006.

d) FPL Group menginvestasikan sekitar $ 1,7 milyar di tahun 2006 untuk ekspansi dan meningkatkan fasilitas dan infrastruktur perusahaan. Ekspansi ini adalah untuk memastikan kebutuhan pelanggan yang terus bertumbuh terpenuhi.

Mengukur Output Nasional (Produk Domestik Bruto/PDB atau Gross DometikProduct/GDP)

Cara yang paling umum digunakan untuk mengukur output nasional adalah melalui Produk Domestik Bruto (PDB) atau sering disebut sebagai Gross Domestic product (GDP). GDP menghitung total produksi (barang dan jasa) didalam suatu negara pada periode tertentu, biasanya satu tahun. GDP berbeda dengan GNP (Gross national product), dimana GNP menghitung total produksi (barang dan jasa) termasuk yang dihasilkan oleh perusahaan ataupun tenaga kerja Indonesia yang berada di luar negeri. Sedangkan GDP mencakup semua produksi yang dilakukan di dalam negeri, termasuk yang dihasilkan oleh perusahaan ataupun tenaga kerja asing di dalam negeri. Dengan demikian, titik berat GNP adalah pada nationality sebuah produksi, sedangkan GDP lebih pada location.

Neraca Pembayaran Internasional (Balance of Payment)

Balance of Payment


Balance of payment (Bop) atau neraca pembayaran (N/P) mencatat semua tansaksi sebuah negara dengan negara lain, yang meliputi transaksi internasional sebuah negara pada suatu periode tertentu, biasanya satu tahun. Bop memiliki dua komponen utama, yaitu :

1. Current account (neraca berjalan), terdiri dari transaksi impor dan ekspor barang dan jasa. Pada current account, ekspor dicatat sebagai kredit karena menghasilkan devisa bagi negara. Sedangkan impor dicatat sebagai debit karena "menghilangkan"/mengeluarkan devisa dari negara. Selain ekspor dan impor, transaksi lain yang termasuk dalam current account adalah pembayaran faktor (factor payment) dan unilateral transfers.