Tantangan Industrialisasi Pertanian di Indonesia

Pemerintah Indonesia pernah bertekad untuk mencapai swasembada beras dalam tempo lima tahun ketika Repelita I dimulai pada tahun 1969. Negara tidak berhasil mencapai tujuan ini, namun swasembada beras menjadi tujuan implisit dan eksplisit dalam semua kebijakan pertanian Indonesia sampai tujuan tersebut dicapai 15 tahun kemudian pada tahun 1984. Misi ini sesungguhnya merupakan misi yang sangat berat bagi Indonesia, yang relatif mudah direncanakan namun jauh lebih rumit dan sukar dalam pencapaiannya.

Untuk mengerti pentingnya pencapaian swasembada beras, perlu diketahui kedudukan khusus beras dalam menu, budaya, dan politik Indonesia. Beras adalah bahan makanan pokok bagi orang Indonesia. Berbagai bahan makanan lain pengganti beras pernah dianjurkan oleh pemerintah, namun rakyat tidak menyukainya. Ketika harga beras melonjak sampai pada titik dimana konsumsinya harus dikurangi, penduduk menjadi kekurangan gizi dan kelaparan. Beras adalah pusat dari semua hubungan pertalian sosial.



Pentingnya harga beras juga ditekankan dalam repelita I: ”Bagi orang Indonesia, beras merupakan bahan makanan pokok terpenting dalam kontribusinya terhadap kalori total yang dikonsumsi, dan bagi struktur upah dan gajinya. Disamping itu, sebagian besar dari masyarakat pertanian Indonesia berpartisipasi dalam produksi beras. Oleh karena itu, setiap pergerakan harga beras akan mempengaruhi kesejahteraan sebagian besar penduduk Indonesia” (Departemen Penerangan 1969, vol. 2a, hal. 10, dalam Prawiro 1998)


Radius Prawiro pada tahun 1998 menjabarkan beberapa langkah kunci yang pernah diambil dalam perjalanan ke arah swasembada beras, diantaranya :

1. Bulog, Dewan Logistik Pangan, dan Harga-harga Beras
Di antara lembaga-lembaga tersebut, Buloglah yang paling berperan dalam pencapaian swasembada beras. Bulog tidak terlibat langsung dalam bisnis pertanian, melainkan hanya dalam urusan pengelolaan pasokan dan harga pada tingkat ansional. Bulog sengaja diciptakan untuk mendistorsi mekanisme harga beras dengan manipulasi untuk memelihara pasar yang lebih kuat. Selama tahun- tahun pertamanya dalam dekade 70-an, Bulog secara bertahap menaikkan harga dasar beras untuk petani. Pada pertengahan dekade 80-an, ketika Indonesia surplus beras, Bulog mengekspor beras ke luar negeri untuk mencegah jatuhnya harga. Tindakan ini membantu memelihara stabilitas pasar.

2. Teknologi dan Pendidikan
Sejak tahun 1963, Indonesia memperkenalkan banyak program kepada para petani untuk meningkatkan produktivitas usaha tani. Pemerintah berjuang untuk memperkenalkan teknologi pertanian kepada para petani. Disamping itu, pemerintah juga menekankan pendidikan untuk menjamin teknik dan teknologi baru dimengerti dan digunakan secara benar. Faktor lain yang berperan penting dalam meningkatkan hasil padi adalah peningkatan penggunaan pupuk kimia.

3. Koperasi Pedesaan
Pada tahun 1972, ketika Indonesia kembali mengalami panen buruk, pemerintah menganjurkan pembentukan koperasi sebagai suatu cara untuk memperkuat kerangka kerja institusional. Ada dua bentuk dasar dari koperasi, pada tingkat desa ada BUUD (Badan Usaha Unit Desa). Pada tingkat kabupaten, ada koperasi serba usaha yang disebut KUD (Koperasi Unit Desa). Koperasi juga bertindak sebagai pusat penyebaran informasi atau pertemuan organisasi.

4. Prasarana
Banyak aspek pembangunan prasarana yang secara langsung ditujukan untuk pembangunan pertanian, dan semuanya secara langsung memberikan kontribusi untuk mencapai swasembada beras. Sistem irigasi merupakan hal penting dalam pembangunan prasarana pertanian. Pekerjaan prasarana lain yang berdampak langsung dalam pencapaian tujuan negara untuk berswasembada beras adalah program besar-besaran untuk pembangunan dan rehabilitasi jalan dan pelabuhan. (Prawiro 1998, hal 181-189)




Semua kebijakan ini bekerja sama dan berperan penting dalam kemajuan pembangunan sektor pertanian Indonesia. Kemajuan ke arah swasembada beras tidaklah gampang. Impor beras yang dilakukan beberapa tahun belakangan ini telah banyak memberatkan para petani. Keterpurukan sektor pertanian di lndonesia bisa dikatakan dimulai ketika pemerintah Orde Baru mempraktikkan program pertanian yang berorientasi kepada "Ideologi Revolusi Hijau” tahun 1970-an hingga 1980-an. Pada masa itu, petani dipaksa bekerja dengan program pertanian modern yang penuh dengan tambahan kimiawi yang merendahkan kualitas kesuburan tanah untuk jangka panjang. 

Para petani dipaksa bertanam dengan menggunakan sarana produksi pupuk, obat hama, benih, dan lain sebagainya yang dipasarkan oleh beberapa perusahaan MNC/TNC yang mendapatkan lisensi pemerintah. Penggunaan saprodi produk perusahaan MNC/TNC tersebut harus dibeli petani dengan harga mahal dari tahun ke tahun. Akibatnya, biaya produksi pertanian selalu melambung dan tidak terjangkau oleh petani domestik. lronisnya harga jual produk pertanian terutama beras, dikontrol dan dibuat murah harganya oleh pemerintah.


Pemerintah juga sering melakukan praktik dagang menjelang pelaksanaan kebijakan ekonomi yang kontroversial. Stok beras di pasaran dibuat langka baru kemudian harga naik, akhirnya masyarakat dipaksa memahami impor beras yang akan dilakukan oleh pemerintah. Impor beras yang dilakukan oleh pemerintah berdampak dua hal yakni :
o Menurunkan motivasi kerja para petani karena hasil kerja kerasnya akan kalah berkompetisi dengan beras impor di pasaran.
o Menterpurukkan tingkat pendapatan petani domestik yang rendah menjadi sangat rendah.

Selain itu, ada motivasi ekonomi-politik yang sebenarnya disembunyikan di balik logika bisnis impor beras. Impor beras merupakan bentuk kebijakan ekonomi-politik pertanian yang mengacu kepada kepentingan pasar bebas atau mazhab neo-liberalisme. Kebijakan lmpor beras adalah pemenuhan kesepakatan AOA (Agreement on Agriculture) WTO yang disepakati oleh Presiden Soeharto tahun 1995 dan dilanjutkan pemerintahan penerusnya sampai sekarang. Butir-butir kesepakatan AOA terdiri dari :

1. Kesepakatan market access (akses pasar) komoditi pertanian domestik. Pasar pertanian domestik di Indonesia harus dibuka seluas-luasnya bagi proses masuknya komoditi pertanian luar negeri., baik beras, gula, terigu, dan lain sebagainya.

2. Penghapusan subsidi dan proteksi negara atas bidang pertanian. Negara tidak boleh melakukan subsidi bidang pertanian, baik subsidi pupuk atau saprodi lainnya serta pemenuhan kredit lunak bagi sektor pertanian.

3. Penghapusan peran STE (State Trading Enterprises) Bulog, sehingga Bulog tidak lagi berhak melakukan monopoli dalam bidang ekspor-impor produk pangan, kecuali beras.

Dampak pemenuhan kesepakatan AOA WTO sangat menyedihkan bagi kondisi pertanian lndonesia semenjak 1995 hingga sekarang ini. Sektor pertanian di lndonesia mengalami keterpurukan dan kebangkrutan. Akibat memenuhi kesepakatan AOA WTO, lndonesia pernah menjadi negara pengimpor beras terbesar di dunia pada tahun 1998 sebesar 4,5 juta ton setahun.

Beberapa kalangan aktivis gerakan petani di lndonesia menyebutkan merosotnya produksi beras nasional semenjak tahun 1985 dikarenakan problem warisan struktural pertanian masih melekat dalam kehidupan petani. Di antaranya, semakin banyak petani yang berlahan sempit (menjamumya petani gurem) dan tidak adanya kemajuan teknologi pertanian yang berorientasi ekologis. Menurut sebuah studi oleh Peter Timmer pada tahun 1975, ”Konsep kepemilikan lahan rata-rata memang agak kabur pada tingkat mikro karena adanya perbedaan besar dalam hal penggunaan dan kualitas lahan. Namun demikian, fakta yang perlu ditekankan adalah bahwa lebih dari dua pertiga populasi usaha tani hanya memiliki kurang dari setengah hektar lahan untuk bercocok tanam, bahkan mungkin kurang dari sepertiga hektar lahan” (Timmer 1975, hal.198, dalam Prawiro 1998, hal. 175).

Kemiskinan struktural di Indonesia juga dikemukakan oleh Geertz pada penelitiannya di tahun 1963, yang membawa pada gagasan ’shared poverty’ (kemiskinan yang ditanggung bersama). Pekerjaan dan pendapatan dari sektor pertanian dibagi-bagi kepada anggota keluarga, atau desa, sehingga semua mendapat pekerjaan dan makanan, namun tetap miskin. Geertz secara pesimis menyimpulkan bahwa barangkali tidak mungkin untuk memperbaiki pertanian Indonesia secara signifikan. Karena, tanpa mengubah struktur sosial secara besar-besaran, ”Setiap usaha untuk mengubah arah perkembangannya, misalnya menabur pupuk diatas lahan pertanian di Jawa yang sangat sempit, irigasi modern, cocok tanam padat karya dan diversifikasi tanaman, hanya akan menumbuhkan satu hal: paralisis” ( Geertz 1963, hal. 146, dalam Prawiro 1998, hal. 176).


Hasil survei LSM KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) tahun 2003 menyatakan bahwa tingkat pendapatan petani Indonesia yang memiliki luas sawah 0,5 hektar kalah dibandingkan dengan upah bulanan buruh industri di kota besar. Para petani yang memiliki tanah/sawah 0,5 hektar untuk sekali musim tanam memerlukan biaya produksi sebanyak Rp. 2,5 juta, termasuk biaya sarana produksi, upah pekerja, pemeliharaan, dan lain-lain. Sementara itu, hasil dari produksi beras/padi sawah seluas 0,5 hektar yang dijual, setelah sebagian dijadikan stok logistik rumah tangga, hanya menghasilkan Rp. 3,5 juta hingga Rp. 4 juta. Jadi, keuntungan bersih hanya Rp. 1 juta sampai Rp. 2 juta, yang jika dibagi tiga bulan maka rata-ratanya hanya mendapatkan laba Rp.700ribu/bulan. Jika impor beras dilakukan dan harga beras petani semakin anjlok, dapat dibayangkan berapa keuntungan yang akan didapatkan oleh para petani negeri ini. Padahal, Presiden SBY adalah seorang doktor pertanian yang pernah menulis tesis tentang revitalisasi pertanian dengan beberapa kesimpulan, di antaranya:

1. Untuk membangun kembali pertanian maka intervensi asing semacam IMF dan World bank harus dinetralisasikan dari bidang pertanian.
2. Pemerintah perlu mengorientasikan kebijakan fiskalnya untuk mendukung sektor pertanian.
3. Pemerintah perlu memfasilitasi pengembangan pertanian yang berorientasi kepentingan petani. Namun sayangnya keyakinan atau ide cerdas SBY dalam disertasinya berbalik dengan realitas kebijakan ekonomi-politik pertanian yang direncanakan dan diimplementasikan.
Kebijakan pemerintah saat ini tidak mendukung berkembangnya sektor pertanian dalam negeri. Indonesia telah mengarah ke negara industri, padahal kemampuanya masih di bidang agraris. Misalnya, kedudukan Pulau Jawa sebagai sentra penghasil padi semakin kehilangan potensi karena industrialisasi dan pembangunan perumahan. Konversi tata guna lahan ini merupakan salah satu pemicu merosotnya pertanian Indonesia yang menjadi sumber penghidupan 49 persen warga negara.


Ada sejumlah faktor yang selama ini menjadi pemicu utama terpuruknya sektor pertanian, diantaranya :
1. Dari segi sarana dan prasarana, tidak ada dana pemeliharaan infrastruktur pertanian, tidak ada pembangunan irigasi baru, dan pencetakan lahan baru tidak berlanjut.
2. Dalam hal bebasnya konversi lahan pertanian, pihak pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten tidak disiplin menjalankan pemerintahan dengan mengizinkan pengubahan fungsi pertanian yang strategis bagi ketahanan negara.
3. Dari sisi kebijakan dan politik, penerapan otonomi daerah membuat sektor tanaman pangan terabaikan. Para politikus membuat kebijakan demi partai, bukan untuk kebijakan pangan rakyat. Keadaan semakin buruk dengan tidak adanya keamanan dan stabilitas yang seharusnya dijalankan aparat penegak hukum. (http://www.kompas.com/kompas-cetak/0401/17/Fokus/806192.htm)

Referensi :
Departemen Penerangan 1969, vol. 2a, hal. 10
Geertz, Clifford (1963), Agricultural Involution: The Process of Ecological Change in Indonesia, Berkeley: University of California Press.
Prawiro, R. (1998), “Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi: Pragmatisme dalam Aksi”, Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Timmer, C. Peter (1975), “The Political Economy of Rice in Asia: Indonesia”, Food Research Institute Studies, XIV (3): 197-231.
http://www.majalahtrust.com/danlainlain/politik/591.php
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0401/17/Fokus/806192.htm
http://www.suaramerdeka.com/harian/0601/17/opi3.htm