Pemotongan Dividen di Industri Utilitas (Kasus Florida Power & Light)

FPL Group, Inc. berdiri pada 1984, adalah salah satu penyedia layanan listrik terbesar di Amerika dan terkenal sebagai organisasi yang berkualitas tinggi, efisien, dan customer-driven. Anak perusahaannya yang utama adalah Florida Power & Light (FPL), yang melayani sekitar 8,5 juta orang di bagian Timur dan Selatan Florida. FPL Group dan FPL merupakan pemimpin pasar dalam produksi listrik dari bahan bakar daur ulang yang bersih, dengan kapasitas lebih dari 34.000 megawatt. Pada akhir 2006, total karyawan FPL Group dan anak perusahaannya mencapai 13.300 orang.


Pada tanggal 9 Mei 1994, perusahaan ini mengumumkan penurunan pembayaran dividen per kuartalnya sebanyak 32%, yaitu dari 62 sen menjadi 42 sen per lembar saham. Di industri utilitas, ini merupakan kasus pemotongan dividen yang pertama yang dilakukan oleh perusahaan yang sehat. Berkaitan dengan pengumuman ini, FPL menyatakan bahwa ia telah menganalisis situasi dengan cermat.

Manajemen juga mengumumkan bahwa mulai tahun 1995, pembayaran dividen akan dikaji pada bulan Februari, dan bukannya Mei, untuk lebih menekankan hubungan antara dividen dan pendapatan tahunan. Selain itu, FPL Group mengotorisasi pembelian kembali 10 juta lembar saham biasa dalam periode tiga tahun kedepan (faktanya perusahaan membeli sekitar 5,9 lembar saham biasa). Semua ini dilakukan perusahaan untuk meminimalkan efek signaling dari pemotongan terhadap dividen.

Dalam pelaksanaan strategi ini, FPL telah memperhatikan bahwa perubahan peraturan pajak di Amerika sejak 1990 telah menjadikan capital gain lebih menarik daripada dividen. Selain memberikan harga yang lebih efisien, FPL juga meningkatkan fleksibilitas keuangan perusahaan dalam mempersiapkan era deregulasi baru dan peningkatan persaingan antar perusahaan utilitas. Banyak penghematan kas dari pemotongan dividen akan dikembalikan kepada investor dalam bentuk pembelian kembali saham. Selain itu, juga digunakan untuk melunasi utang FPL. Pelunasan utang akan mengurangi tingkat leverage perusahaan sehingga menguatkan kondisi keuangan.

Reaksi pasar saham terhadap tindakan FPL adalah negatif. Harga saham FPL jatuh dari $ 31,88 menjadi $ 27,5. Tetapi analis menyatakan bahwa ini bukan merupakan tanda-tanda terjadinya financial distress, melainkan merupakan keputusan strategis yang dapat meningkatkan fleksibilitas keuangan jangka panjang perusahaan dan juga kesempatan untuk bertumbuh. Satu bulan setelah pernyataan tersebut, saham FPL ditutup pada $ 32,17 dan menjadi $ 37,75 setelah satu tahun pernyataannya. Pada tahun berikutnya harga saham menjadi $ 45,25.

Guna mengantisipasi reaksi pasar yang mungkin negatif, manajemen melakukan kampanye hubungan dengan investor utama untuk menjelaskan perubahan terhadap kebijakan dividen sebagai bagian dari strategi bisnis dan keuangan secara keseluruhan. FPL menjadi perusahaan ”baru”, perusahaan yang mentransformasikan diri untuk menghadapi lingkungan persaingan bisnis yang baru.


Perubahan Lingkungan Ekonomi

Kebijakan dividen harus terintegrasi dengan strategi keuangan yang mencakup strategi target struktur modal perusahaan dan kebutuhan modal luar di masa depan. Perubahan dinamika bisnis mengakibatkan kebijakan keuangan juga harus berubah. Kestabilan pendapatan di perusahaan utilitas menyebabkan dividen mudah diprediksi. Oleh sebab itu, saham utilitas biasanya dibeli sebagai income stock, dan sebagai obligasi, cenderung sensitif terhadap perubahan tingkat bunga.
Dulunya perusahaan utilitas dapat melakukan monopoli alami. Namun, selama tahun 1970-an dan 1980-an banyak perusahaan utilitas yang dikritik karena melakukan investasi dengan tidak hati-hati sehingga pemerintah mengeluarkan peraturan-peraturan bagi industri utilitas. Salah satunya yang paling mempengaruhi adalah Energy Policy Act of 1992. Industri elektrik menjadi lebih beresiko untuk beroperasi dan berinvestasi.


Dampak Keuangan

Florida Power & Light (FPL) menurunkan tingkat pembayaran dividennya pada sejak 1993. Sebelumnya, sejak tahun 1965 pertumbuhan dividen FPL hampir selalu sama dengan pertumbuhan pendapatannya. Bahkan ketika pendapatannya turun 10% pada tahun 1990-1993, pertumbuhan dividen tetap dipertahankan sebesar kurang dari 2% (yang mana adalah 4% ketika tren pendapatan FPL naik).
Penurunan dividen ini merupakan keputusan yang besar bagi FPL. Pada saat itu, tren di perusahaan-perusahaan utilitas adalah pembayaran dividen yang tinggi. Saham-saham di industri ini dikategorikan sebagai income stock, karena memberikan penghasilan berupa dividen yang besar bagi para pemilik modal. Para investor yang menanam modal di industri utilitas juga biasanya lebih mengincar pendapatan dari dividen daripada capital gain. Oleh sebab itu, tidak mudah bagi perusahaan-perusahaan utilitas untuk melawan pola yang telah melekat di industrinya ini.
Namun, pola pembayaran dividen yang besar ini telah mengurangi fleksibilitas keuangan perusahaan utilitas. Selain itu, banyak dari perusahaan utilitas, termasuk FPL, yang bergantung pada penerbitan saham atau hutang baru untuk membiayai dividen ini. Ketergantungan ini akan berdampak buruk bagi perusahaan dalam jangka panjang, terutama jika akses ke modal dan hutang semakin terbatas di masa depan. Apalagi, industri utilitas membutuhkan pendanaan yang besar dalam pembangunan fasilitasnya. Pemilihan sumber pendanaan yang tepat memang tergantung pada kondisi perusahaan. Namun, bagi FPL dan perusahaan lain di industrinya, sesungguhnya sumber pendanaan berupa laba ditahan adalah pilihan yang lebih tepat. Selain karena alasan fleksibilitas dan ketergantungan yang tidak sehat, beberapa pertimbangan lainnya adalah :

1. Tingkat pembayaran dividen yang sudah sangat tinggi. Industri utilitas seolah memiliki peraturan tidak tertulis untuk terus menaikkan dividennya dari tahun ke tahun. Jika pola seperti ini diteruskan, clientele effect yang mungkin terjadi apabila suatu saat perusahaan di industri ini “harus” mengubah kebijakan dividennya akan semakin besar.

2. Kondisi keuangan perusahaan yang masih baik, sehingga perubahan kebijakan dividen mungkin tidak akan menimbulkan respon negatif yang berlebihan. Pasar akan segera menganalisis keputusan strategik dibalik pengambilan kebijakan baru tersebut.

3. Laba ditahan merupakan sumber pendanaan yang sangat memungkinkan bagi perusahaan, karena tingkat pendapatan yang tinggi. Selain itu, biaya dari penggunaan laba ditahan juga lebih murah dibandingkan saham dan hutang.

4. Penggunaan hutang secara agresif akan menambah leverage dan resiko perusahaan. Hutang juga membutuhkan pembiayaan yang besar.


Teori Dividen

Ada tiga teori dividen yang paling dikenal di bidang keuangan, yaitu :
1. Teori Birds in Hand. Inti dari teori ini adalah bahwa uang yang ada di tangan lebih berarti daripada uang dari capital gain yang diharapkan di masa depan. Dengan demikian, pembayaran dividen yang tinggi lebih disukai. Dividen dianggap lebih tidak beresiko dan lebih bernilai dibandingkan capital gain yang belum pasti diperoleh.

2. Teori Dividend Irrelevance. Teori ini menyatakan bahwa yang dianggap penting bagi investor adalah total pengembalian, tanpa ada preferensi tertentu terhadap dividen atau capital gain. Oleh sebab itu, perubahan pada kebijakan dividen tidak akan mempengaruhi harga saham jika memang dapat di offset oleh capital gain. Bagi investor, yang menentukan nilai perusahaan adalah kekuatannya menghasilkan pendapatan di masa depan. Teori ini memiliki beberapa asumsi, yaitu : tidak ada biaya kebangkrutan, tidak ada biaya transaksi, tidak ada pajak, dan semua investor memiliki akses ke informasi gratis.

3. Teori Tax Preference. Teori ini menyatakan bahwa apa yang penting bagi investor adalah pajak. Jika dividen dikenai pajak lebih tinggi daripada capital gain, maka investor akan lebih menyukai capital gain. Demikian pula sebaliknya.


Studi-studi empiris yang ada selama ini belum mencapai hasil yang konsisten mengenai salah satu dari teori diatas. Namun, sejumlah peneliti akademik mengenai dividen tetap menyatakan bahwa manajer setidaknya harus beberapa hal dibawah ini ketika membicarakan kebijakan dividen :

1. Kebijakan Dividen dan Signaling.
Kebijakan dividen yang optimal harus mencapai keseimbangan antara dividen saat ini dengan pertumbuhan di masa depan yang akan memaksimalkan harga saham perusahaan. Manajemen perusahaan harus mempunyai kebijakan untuk :
  • Porsi laba yang dibagikan sebagai dividen dan ditahan untuk investasi.
  • Tingkat pertumbuhan dividen yang akan dicapai, dengan bantuan reinvestasi laba ditahan.

Pemilihan kebijakan ini mungkin akan mempengaruhi harga saham perusahaan :
  • Pembayaran dividen yang tinggi akan memberikan pemegang saham current income yang lebih banyak (yang langsung dikenai pajak dividen).
  • Tingkat retensi laba yang tinggi seharusnya menandakan pertumbuhan pendapatan dan dividen di masa depan. Dengan demikian, dapat menaikkan harga saham saat ini dan memberikan capital gain (yang akan dikenai pajak apabila telah diakui).
Investor biasanya memperoleh sinyal dari apa yang dilakukan manajer. Kenaikan dividen sering dilihat sebagai sinyal akan pertumbuhan perusahaan yang semakin baik di masa depan, dan sebaliknya berlaku. Bagaimanapun, perubahan kebijakan keuangan bukanlah bertujuan utama untuk memberi sinyal kepada investor, melainkan untuk membangun struktur keuangan yang benar di lingkungan yang semakin kompetitif. Kebijakan FPL untuk memotong dividen, misalnya, tidak untuk mengirim sinyal negatif. Apalagi perusahaan berupaya meng-offset sinyal negatif ini dengan mengumumkan pembelian kembali saham (stock repurchase) secara simultan.


2. Mengelola Clientele Effects
Pertimbangan kedua terkait perubahan kebijakan dividen adalah clientele effect, dimana investor membeli atau menahan saham tertentu karena tertarik pada kebijakan yang melekat pada saham tersebut. Dengan demikian, ketika kebijakan tersebut diubah, investor juga akan merubah kepemilikan mereka dan pada akhirnya merubah harga saham. Investor yang membeli saham utilitas biasanya berada dalam kelompok yang menginginkan pendapatan kas teratur dan tidak terlalu mementingkan pajak. Artinya, jika FPL memotong dividennya, investor mungkin akan beralih ke saham lain yang sesuai dengan karakteristik yang diinginkan. Teori ini menyarankan agar manajemen berupaya mempertahankan kebijakan dividen yang stabil.

Di sisi lain, perlu juga diperhatikan bahwa clientele investor berbeda-beda. Jika harga saham jatuh karena dijual oleh sekelompok investor, sekelompok investor lain yang kini merasa sesuai dengan kebijakan baru perusahaan akan membeli saham-saham tersebut. Meskipun demikian, keberadaan clientele effect tetap memberi implikasi penting bagi FPL. Pemotongan dividen yang besar adalah untuk mengurangi kemungkinan akan adanya pemotongan lagi di masa depan. Selain itu, FPL juga melakukannya untuk mengakomodasi investor lama yang memilih untuk tidak menjual sahamnya, sekaligus untuk menarik investor baru yang mencari pertumbuhan dividen yang konsisten.

Meskipun melakukan pemotongan dividen yang besar, pembayaran dan yield FPL tetap berada dalam range perusahaan sejenis lainnya. Dengan demikian, para investor utilitas tradisional dapat tetap berinvestasi di FPL dengan pendapatan kas, namun dengan ekspektasi kenaikan harga saham yang lebih baik. Ini merupakan kombinasi yang sangat baik.

Menyeimbangkan Agency Cost dan Flotation Cost

Para ahli ekonomi cenderung tidak menerima bahwa dividen lebih berharga daripada capital gains karena lebih dapat diandalkan dan tidak beresiko. Teori “bird-in hand” tidak mempertimbangkan bahwa dividen hanya dapat dibayar apabila arus kas di masa depan tersedia. Resiko terhadap arus kas di masa depan inilah yang menetukan tingkat kepastian akan dividen yang akan datang.  Saat ini banyak variasi penemuan atas teori bird-in the hand. Perusahaan di industri mature dan kelebihan modal memiliki kecenderungan untuk menahan dan kemudian menghabiskan modal, dengan investasi yang berlebihan maupun akuisisi. Dividen yang tinggi memberikan solusi bagi free cash flow ini. Solusinya adalah dividen atau pembelian kembali saham.

Satu studi yang terbaru memberikan dukungan empiris kuat untuk argumentasi ini. Michael Barcly, Clifford Smith, dan Ross Watts menyimpulkan bahwa perusahaan mature dengan peluang investasi sedikit cenderung mempunyai dividen yield tinggi dan rasio utang yang signifikan dibandingkan dengan perusahaan growth. Dengan peluang investasi dan kebutuhan modal yang sedikit, perusahaan mature membayar dividen yang tinggi untuk mencegah dari penggunaan kas yang berlebihan.

Sebaliknya, perusahaan growth cenderung memiliki dividen payouts dan rasio utang yang lebih rendah, karena biaya modal luar mahal. Selain itu, perusahaan growth cenderung berada di bisnis yang berisiko dibanding perusahaan mature, meskipun ada pengecualian terhadap peraturan ini.
Barclay, Smith, dan Watts juga menemukan bahwa perusahaan yang berubah dari diregulasi menjadi tidak diregulasi akan berdampak pada kebijakan deviden. Perusahaan yang diregulasi mempunyai dividen dan rasio utang yang lebih tinggi dibanding perusahaan yang tidak diregulasi.

Kedua penemuan ini dapat dikaitkan dengan kasus FPL dimana manajemen mengantisipasi perubahan fundamental pada bisnis dari yang diregulasi menjadi yang tidak diregulasi. Perubahan ini menimbulkan resiko bisnis yang lebih tinggi dan lingkungan yang lebih kompetitif.

Pemikiran para akademis meringkas apa yang ditemukan oleh Smith, Barcly, dan Watt, yang mana menyatakan bahwa target dividend payout ratio perusahaan perlu mencerminkan pertimbangan berikut :
1. Kebutuhan modal yang diharapkan.
2. Resiko dari bisnis tersebut.
3. Target struktur modal perusahaan.
4. Ketersediaan dan biaya modal luar.

Berdasarkan proyeksi keuangan, manajemen memproyeksi pertumbuhan surplus kas dari operasi dalam lima tahun ke depan. Dengan demikian, FPL bukanlah perusahaan growth tradisional yang memiliki peluang pertumbuhan yang menguntungkan dan membutuhkan pembiayaan luar.

Seperti dinyatakan sebelumnya, FPL memilih untuk mengurangi dividend payout ratio nya dari 90% menjadi 60% dari pendapatan tahunan. Proses pengambilan keputusan manajemen dapat diringkas sbb:

1. FPL melakukan proyeksi arus kas operasi dan kebutuhan investasi untuk lima tahun kedepan. FPL memprediksi bahwa arus kas dari operasi akan meningkat stabil, sementara anggaran modal akan menurun tajam.
2. Langkah FPL yang berikutnya adalah menentukan target struktur modalnya. FPL memutuskan untuk menambah prosentase saham biasa dari 46% menjadi 50% karena adanya peningkatan resiko bisnis.
3. Langkah yang terakhir adalah menentukan dividend payout ratio. Disini, FPL membandingkan dengan tingkat pembayaran perusahaan utilitas lain dan perusahaan lain yang telah dideregulasi.



Pembelian Kembali Saham vs. Dividen

Ada dua pertimbangan dasar mengapa pembelian kembali saham bisa menjadi alat yang lebih efisien untuk mengembalikan modal kepada pemegang saham:
1. Pajak. Pajak atas dividen lebih besar dibandingkan pajak atas capital gain. Apalagi pajak atas capital gain tidak dibebankan selama investor tidak merealisasikan keuntungan. Investor juga hanya membayar capital gain pada selisih antara harga pembelian kembali dengan beban pajak yang biasa pada saham.
2. Fleksibilitas keuangan. Pembelian kembali saham memberikan manajemen fleksibilitas keuangan di masa depan. Ini terutama dibutuhkan karena ada peningkatan kompetisi, stabilitas arus kas operasional dapat terganggu di masa depan.

Pembelian kembali saham memiliki keuntungan dan kerugian bagi pemegang saham dan perusahaan, diantaranya :

a. Keuntungan bagi pemegang saham :
• Stock repurchase sering dpandang sebagai tanda positif bagi investor karena pada umumnya stock repurchase dilakukan jika perusahaan merasa bahwa saham “undervalued”
• Stock repurchase mengurangi jumlah saham yang beredar di pasar.

b. Kerugian bagi pemegang saham :
• Perusahaan membeli kembali saham dengan harga yang terlalu tinggi sehingga merugikan pemegang saham yang tidak menjual kembali sahamnya.
• Keuntungan dalam bentuk capital gains, padahal sebagian investor menyukai dividen.

c. Keuntungan bagi perusahaan :
• Menghindari kenaikan dividen
• Dapat digunakan sebagai strategi untuk mengganggu usaha pengambil alihan perusahaan.
• Mengubah struktur modal perusahaan
• Saham yang ditarik kembali dapat dijual kembali ke pasar jika perusahaan membutuhkan tambahan dana

d. Kerugian bagi perusahaan :
• Dapat merusak image perusahaan
• Dapat menurunkan harga saham


Reaksi Investor

Pada awalnya, reaksi pasar terhadap pengumuman pemotongan dividen FPL adalah negatif. Pemotongan dividen sering dikaitkan dengan keuntungan yang berkurang, sehingga investor merasa bahwa prospek pendapatan mereka juga akan berkurang. Apa yang jelas dalam kasus FPL adalah bahwa investor dapat menerima bahwa pemotongan dividen oleh perusahaan yang profitable dapat merupakan sebuah strategi keuangan yang menambah nilai di masa depan. Apalagi, perusahaan berupaya menstabilkan harga dengan mengumumkan pembelian kembali saham dalam waktu yang bersamaan.

Kesimpulan

Kasus FPL menunjukkan kebenaran atas teori Dividend Irrelevance yang dikembangkan M&M, yaitu bahwa investor tidak hanya mencari dividen. FPL menjadi contoh bagi banyak perusahaan lain yang tingkat pembayaran dividennya terlalu tinggi. Meskipun demikian, kebijakan dividen dapat sangat berpengaruh pada kasus-kasus tertentu. Pada perusahaan mature, pembayaran dividen yang terlalu kecil dapat mengakibatkan manajemen overinvest, atau melakukan investasi berlebihan pada proyek-proyek yang tidak bernilai. Pada perusahaan growth, pembayaran dividen yang terlalu besar dapat mengakibatkan perusahaan mengalami masalah fleksibilitas keuangan dan kehilangan kesempatan investasi yang baik.

Seperti pada kasus FPL, pembelian kembali saham dapat menjadi alternatif yang superior untuk dividen untuk membagikan kelebihan modal kepada investor, terutama kepada perusahaan yang menghadapi suatu lingkungan bisnis yang lebih beresiko. Di samping memberi keuntungan pajak bagi investor, penggantian dividen dengan pembelian kembali saham dapat meningkatkan fleksibiltas keuangan perusahaan. Dalam kasus FPL, perbaikan kondisi keuangan dirancang untuk memberikan manajemen fleksibilitas keuangan guna merespon peningkatan kompetisi dan untuk membuat akuisisi-akuisisi strategis.